Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Pentingnya Unit Pengendali Gratifikasi dalam Sebuah Institusi
Arinda Rintan Bestari
Selasa, 30 Juni 2020   |   4017 kali

          Dalam arti luas, gratifikasi merupakan pemberian. Pengaturan dan penyebutan gratifikasi secara spesifik dikenal sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka terdapat risiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun pidana.

            Terdapat juga keragaman pemahaman tentang gratifikasi. Ada yang memahami gratifikasi identik dengan sesuatu yang selalu salah, amoral, bahkan menyamakan gratifikasi dengan suap. Mengacu pada Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor, kata gratifikasi sesungguhnya bermakna netral, yaitu: pemberian dalam arti luas yang dapat berbentuk uang, barang atau fasilitas lainnya. Gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima. Gratifikasi itulah yang disebut pada Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor sebagai “gratifikasi yang dianggap pemberian suap”.

           Di lingkungan Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara khusus menegaskan larangan menerima gratifikasi bagi seluruh pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal ini dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemenkeu yang telah ditetapkan Menteri Keuangan pada tanggal 27 Januari 2017.

             Tiga Lapis Pertahanan (Three Lines of Defense) adalah poin penting untuk membangun integritas pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Pertahanan pertama (first line of defense) adalah pemahaman tentang nilai-nilai Kementerian Keuangan, dimana role model-nya adalah atasan langsung atau Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri. Sedangkan pertahanan lapis kedua (second line of defense) adalah sistem kepatuhan internal di tiap unit kerja. Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) menjalankan peran sebagai Pertahanan Lapis Ketiga (Third line of defense).

           Di lingkungan Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Unit Pengendali Gratifikasi sebagai pertahanan lapis kedua (second line of defense) memiliki tugas untuk melakukan koordinasi terkait internalisasi atas ketentuan  gratifikasi dalam penerapan pengendalian gratifikasi, memantau tindak lanjut atas pemanfaatan gratifikasi  yang ditetapkan menjadi milik negara atau milik pelapor/penerima gratifikasi serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapan ketentuan pengendalian gratifikasi di kantor wilayah DJKN atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

            Unit Pengendali Gratifikasi harus bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa menunjukkan wajah Kementerian Keuangan yang terbaik yang bisa ditunjukkan, menjadi role model yang baik, santun, jelas, serta berintegritas. Karena dengan demikian Kementerian Keuangan di seluruh pelosok Indonesia dapat dilihat sebagai institusi yang diisi dengan orang-orang yang baik dan memancarkan value (nilai-nilai) yang terpuji.

Penulis : Arinda Rintan Bestari - Kanwil DJKN Kalselteng

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini