Salah satu kata yang saat ini makin populer dan sering
kita dengar adalah Disrupsi. Awalnya Disrupsi muncul dalam konteks bisnis yang
kemudian makin menyebar dan meluas ke dalam kehidupan masyarakat secara umum. The
Innovator’s Dilemma oleh Clayton M. Christensen dan The Great
Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order oleh Francis
Fukuyama merupakan 2 buku yang mempopulerkan paham Disrupsi.
Era Disrupsi menurut arti kata berarti terjadinya
perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh adanya inovasi yang mengubah
sistem dan tatanan bisnis ke taraf yang lebih baru. Dalam perkembangannya,
perubahan besar yang terjadi di dunia ini kita rasakan dengan mulai munculnya revolusi
industri 4.0. Terdapat sembilan pilar yang menjadi ciri perkembangan teknologi
revolusi industri 4.0 antara lain: 1) Analisis Big Data, 2) Robot
Otonom, 3) Teknologi Simulasi, 4) Integrasi Sistem Horisontal dan Vertikal, 5)
Industri Berbasis Internet of Things (IoT), 6) Keamanan Siber, 7)
Teknologi Informasi berbasis Cloud, 8) Manufaktur Aditif, 9) Teknologi Augmented
Reality.
Adanya disrupsi pada berbagai sektor kehidupan tentunya
menuntut adaptasi dari masing-masing individu untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Merupakan hal yang mutlak jika
seseorang harus secara cepat mengubah mindset
dan menyesuaikan diri agar tidak tertinggal oleh perubahan yang makin hari
makin cepat dirasakan. McKinsey Global Institute pada tahun 2017 memproyeksikan
setidaknya 400 sampai dengan 800 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan
pada tahun 2030 karena tergantikan oleh robot dan Artificial Intelligence
(AI) atau kecerdasan buatan.
Efek Disrupsi yang luas tersebut pada akhirnya juga
akan merambah ke pola kerja Birokrasi dan sistem Pemerintahan. Disrupsi
yang selalu dikaitkan dengan kemunculan teknologi yang semakin berkembang dapat
membentuk pola “gangguan” pada sistem dalam sebuah organisasi bisnis maupun
pemerintahan. Sebut saja perubahan teknologi yang menggunakan analog yang
berkembang saat ini menjadi teknologi digital. Perubahan tersebut tentunya
membawa dampak besar bagi kehidupan bernegara. Reformasi Birokrasi yang menjadi harapan masyarakat pada terwujudnya
pemerintahan yang bersih, akuntabel dan efisien serta menciptakan sebuah
pelayanan publik yang optimal dan lebih baik dituntut untuk menyesuaikan diri
dan mengikuti arus perubahan saat ini.
Saat ini penggunaan teknologi informasi telah
diimplementasikan di berbagai lini pada sistem pemerintahan. Istilah e-Government
cukup sering kita dengar terutama dalam kaitannya dengan proses Birokrasi atau
pelayanan publik. Namun demikian istilah e-Government yang secara umum
memiliki pengertian proses pemanfaatan
teknologi informasi sebagai alat untuk membantu menjalankan sistem pemerintahan
secara lebih efisien, saat ini bisa dikatakan belum bisa menjawab tantangan dan
belum memenuhi harapan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja langkah yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat di tengah era
perubahan yang sangat cepat saat ini?
Pertama, adanya penegakan Reformasi Birokrasi yang lebih
komprehensif dan nyata disertai dengan penyederhanaan regulasi, dengan
membentuk dan menyesuaikan diri menjadi regulasi ataupun peraturan yang peka
dengan perubahan. Seperti yang kita sering dengar bahwa konsep Birokrasi yang
saat ini terkesan kaku dan kompleks harus berubah menjadi sebuah Birokrasi yang
luwes (agile bureaucracy). Di era yang berubah secara cepat ini banyak
hal yang mungkin saat ini diatur, tetapi dalam hitungan beberapa bulan ke depan
hal tersebut akan memiliki perubahan dalam tata cara serta implementasinya di
masyarakat. Jika dihubungkan dengan proses pembuatan peraturan yang memakan
waktu lama maka hal ini akan menimbulkan gap
antara pembuatan peraturan dengan perubahan dan penerapannya di masyarakat.
Karena bagaimanapun dalam era disrupsi ini, inovasi akan selalu bergerak lebih
cepat daripada regulator. Oleh karena itu konsep agile bureaucracy hendaknya
perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini diperlukan kaji ulang atas peran
Pemerintah, mungkin tidak lagi perlu terlibat dalam hal yang rinci (rules),
tetapi ia berubah menjadi fasilitator dan mengatur hal yang prinsip.
Selanjutnya pembangunan Digital Governance. Kemunculan
Disrupsi yang ditandai dengan menguatnya Artificial Intelligence (AI)
atau kecerdasan buatan, penggunaan Big Data serta berubahnya sistem
manual menjadi sistem komputer dan online terutama dalam segi pelayanan publik
merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dan dihadapi. Digital Governance
memiliki pengertian sebagai tata kelola pemerintahan yang berbasis elektronik
atau internet yang pada penerapan layanan publik ini dapat dilakukan tanpa
harus bertatap muka. Hal ini tentu saja akan membuat perbedaan dalam tata kerja
Birokrasi. Permasalahan disrupsi dimaksud tentunya
sangat mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Kemunculan digitalisasi sebagai
disrupsi tentu saja perlu respon positif bagi pemerintah
untuk melakukan reformasi Birokrasi yang mengarah pada pelayanan digital, Pelayanan berbasis digitalisasi tentu saja menjadi tantangan bagi Birokrasi
untuk membentuk terobosan dan inovasi sehingga dapat mencapai tujuan negara
dalam mensejahterakan masyarakat.
Langkah ketiga adalah Peningkatan Skill dan Kompetensi para
birokrat. Tidak dapat dipungkiri dengan adanya revolusi industri 4.0 dan era disrupsi,
jenis pekerjaan yang bisa disimplifikasi maupun digantikan oleh sistem maupun
perangkat digital akan semakin bertambah setiap tahunnya. Proses administrasi
dalam pemerintahan akan semakin berkurang dengan adanya sistem yang
menggantikan. Disamping itu banyak pengetahuan yang menemui masa kadaluwarsanya
di masa yang akan datang, seiring dengan pesatnya perkembangan internet beserta
segala hal yang terafiliasi dengannya seperti mesin pencari otomatis contoh
yang paling terkenal adalah Google dan implementasi kecerdasan buatan
dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana kita mulai rasakan saat ini. Peningkatan
skill dan kemampuan individu sebagai Sumber Daya Manusia menjadi semakin
menantang. Dengan tidak terbendungnya era disrupsi tersebut, maka kompetensi dan
keterampilan lain yang belum bisa dikejar oleh teknologi (dalam hal ini
kecerdasan buatan) dalam waktu dekat, perlu untuk segera ditanamkan dan
ditingkatkan. Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah, keterampilan komunikasi
(termasuk kemampuan berbahasa asing), kolaborasi, People Management, keterampilan
berpikir kreatif dan inovasi serta mengasah Emotional Intelligence atau
kecerdasan emosi hendaknya harus dimiliki oleh setiap individu yang bekerja di Birokrasi.
Gagasan atau langkah
yang terakhir adalah adanya regenerasi pada Birokrasi dan sistem Pemerintahan. Organisasi
publik, walaupun memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi privat, idealnya
mampu menjalankan perannya dengan cara kerja/proses bisnis yang efisien, cepat
dan gesit, apalagi instansi pemerintah yang berhadapan dengan pelayanan publik.
Oleh karena itu memberikan ruang dan kesempatan
yang lebih luas kepada kelompok usia produktif yang saat ini populer disebut
generasi millenial (kelompok kelahiran tahun 1981 s.d 1995) merupakan sebuah
opsi yang tepat untuk melakukan perubahan dan membuat suatu tatanan baru pada Birokrasi
serta membentuk sistem Pemerintahan yang dinamis dan cepat berubah mengikuti laju
zaman. Generasi millenial akan memainkan
peran penting ke depan terutama dalam perekonomian Indonesia sehingga mampu
meningkatkan kinerja pembangunan termasuk sumbangsih millenial terhadap
pembangunan di Birokrasi pemerintah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) karakter yang
dimiliki oleh generasi millenial yaitu connected, confident dan
creative yang selanjutnya dapat dijabarkan terkait keunggulan yang dimiliki
oleh generasi ini yaitu ingin serba cepat, mudah beradaptasi pada pekerjaan,
kreatif, dinamis, melek teknologi dan dekat dengan media sosial. Namun tidak dapat disangkal bahwa saat ini masih ada keraguan
dan penilaian atau anggapan bahwa sosok generasi millenial ini merupakan sosok
yang belum matang dan belum cukup pantas menggantikan posisi generasi-generasi
di atasnya. Karena itu, diperlukan keyakinan dan pemahaman yang terbuka serta
sudut pandang yang lebih luas untuk menentukan serta menilai generasi baru ini sebagai
penerus dari generasi senior yang saat ini memegang mayoritas kendali pada
sistem Birokrasi dan pemerintahan.
Era disrupsi yang saat
ini sudah bergerak cepat dan menyusup ke berbagai sektor dalam kehidupan
manusia, tidak terkecuali pada sistem Birokrasi dan menuntut adanya perubahan
besar pada Birokrasi dan sistem pemerintahan. Perubahan dapat mulai dilakukan dimulai
dengan proses penyederhanaan regulasi yang berubah menjadi suatu Birokrasi yang
luwes, perubahan pola kerja menjadi serba digital atau online dalam rangka pelayanan publik yang lebih cepat dan efisien,
peningkatan skill dan kompetensi para
birokrat serta memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melanjutkan dan
mengubah sistem menjadi lebih dinamis merupakan langkah-langkah yang dapat
dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi era disrupsi yang tengah terjadi. Dengan
adanya perubahan dan penyesuaian dimaksud diharapkan dapat memperkuat
implementasi reformasi Birokrasi, meningkatkan kualitas para birokrat menjadi
SDM yang handal dan profesional serta menciptakan pelayanan publik yang
memenuhi harapan masyarakat.
Penulis:
Firman Yogantara.
Kanwil DJKN Kalimantan Barat.