Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Benturan Era Disrupsi pada Sistem Birokrasi
Thaus Sugihilmi Arya Putra
Jum'at, 01 Oktober 2021   |   7541 kali


Salah satu kata yang saat ini makin populer dan sering kita dengar adalah Disrupsi. Awalnya Disrupsi muncul dalam konteks bisnis yang kemudian makin menyebar dan meluas ke dalam kehidupan masyarakat secara umum. The Innovator’s Dilemma oleh Clayton M. Christensen dan The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order oleh Francis Fukuyama merupakan 2 buku yang mempopulerkan paham Disrupsi. 

Era Disrupsi menurut arti kata berarti terjadinya perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh adanya inovasi yang mengubah sistem dan tatanan bisnis ke taraf yang lebih baru. Dalam perkembangannya, perubahan besar yang terjadi di dunia ini kita rasakan dengan mulai munculnya revolusi industri 4.0. Terdapat sembilan pilar yang menjadi ciri perkembangan teknologi revolusi industri 4.0 antara lain: 1) Analisis Big Data, 2) Robot Otonom, 3) Teknologi Simulasi, 4) Integrasi Sistem Horisontal dan Vertikal, 5) Industri Berbasis Internet of Things (IoT), 6) Keamanan Siber, 7) Teknologi Informasi berbasis Cloud, 8) Manufaktur Aditif, 9) Teknologi Augmented Reality.

Adanya disrupsi pada berbagai sektor kehidupan tentunya menuntut adaptasi dari masing-masing individu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Merupakan hal yang mutlak jika seseorang harus secara cepat mengubah mindset dan menyesuaikan diri agar tidak tertinggal oleh perubahan yang makin hari makin cepat dirasakan. McKinsey Global Institute pada tahun 2017 memproyeksikan setidaknya 400 sampai dengan 800 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan pada tahun 2030 karena tergantikan oleh robot dan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Efek Disrupsi yang luas tersebut pada akhirnya juga akan merambah ke pola kerja Birokrasi dan sistem Pemerintahan. Disrupsi yang selalu dikaitkan dengan kemunculan teknologi yang semakin berkembang dapat membentuk pola “gangguan” pada sistem dalam sebuah organisasi bisnis maupun pemerintahan. Sebut saja perubahan teknologi yang menggunakan analog yang berkembang saat ini menjadi teknologi digital. Perubahan tersebut tentunya membawa dampak besar bagi kehidupan bernegara. Reformasi Birokrasi yang menjadi harapan masyarakat pada terwujudnya pemerintahan yang bersih, akuntabel dan efisien serta menciptakan sebuah pelayanan publik yang optimal dan lebih baik dituntut untuk menyesuaikan diri dan mengikuti arus perubahan saat ini. 

Saat ini penggunaan teknologi informasi telah diimplementasikan di berbagai lini pada sistem pemerintahan. Istilah e-Government cukup sering kita dengar terutama dalam kaitannya dengan proses Birokrasi atau pelayanan publik. Namun demikian istilah e-Government yang secara umum memiliki pengertian proses pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk membantu menjalankan sistem pemerintahan secara lebih efisien, saat ini bisa dikatakan belum bisa menjawab tantangan dan belum memenuhi harapan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat di tengah era perubahan yang sangat cepat saat ini?

Pertama, adanya penegakan Reformasi Birokrasi yang lebih komprehensif dan nyata disertai dengan penyederhanaan regulasi, dengan membentuk dan menyesuaikan diri menjadi regulasi ataupun peraturan yang peka dengan perubahan. Seperti yang kita sering dengar bahwa konsep Birokrasi yang saat ini terkesan kaku dan kompleks harus berubah menjadi sebuah Birokrasi yang luwes (agile bureaucracy). Di era yang berubah secara cepat ini banyak hal yang mungkin saat ini diatur, tetapi dalam hitungan beberapa bulan ke depan hal tersebut akan memiliki perubahan dalam tata cara serta implementasinya di masyarakat. Jika dihubungkan dengan proses pembuatan peraturan yang memakan waktu lama maka hal ini akan menimbulkan gap antara pembuatan peraturan dengan perubahan dan penerapannya di masyarakat. Karena bagaimanapun dalam era disrupsi ini, inovasi akan selalu bergerak lebih cepat daripada regulator. Oleh karena itu konsep agile bureaucracy hendaknya perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini diperlukan kaji ulang atas peran Pemerintah, mungkin tidak lagi perlu terlibat dalam hal yang rinci (rules), tetapi ia berubah menjadi fasilitator dan mengatur hal yang prinsip.

Selanjutnya pembangunan Digital Governance. Kemunculan Disrupsi yang ditandai dengan menguatnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, penggunaan Big Data serta berubahnya sistem manual menjadi sistem komputer dan online terutama dalam segi pelayanan publik merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dan dihadapi. Digital Governance memiliki pengertian sebagai tata kelola pemerintahan yang berbasis elektronik atau internet yang pada penerapan layanan publik ini dapat dilakukan tanpa harus bertatap muka. Hal ini tentu saja akan membuat perbedaan dalam tata kerja Birokrasi. Permasalahan disrupsi dimaksud tentunya sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Kemunculan digitalisasi sebagai disrupsi tentu saja perlu respon positif bagi pemerintah untuk melakukan reformasi Birokrasi yang mengarah pada pelayanan digital, Pelayanan berbasis digitalisasi tentu saja menjadi tantangan bagi Birokrasi untuk membentuk terobosan dan inovasi sehingga dapat mencapai tujuan negara dalam mensejahterakan masyarakat.

Langkah ketiga adalah Peningkatan Skill dan Kompetensi para birokrat. Tidak dapat dipungkiri dengan adanya revolusi industri 4.0 dan era disrupsi, jenis pekerjaan yang bisa disimplifikasi maupun digantikan oleh sistem maupun perangkat digital akan semakin bertambah setiap tahunnya. Proses administrasi dalam pemerintahan akan semakin berkurang dengan adanya sistem yang menggantikan. Disamping itu banyak pengetahuan yang menemui masa kadaluwarsanya di masa yang akan datang, seiring dengan pesatnya perkembangan internet beserta segala hal yang terafiliasi dengannya seperti mesin pencari otomatis contoh yang paling terkenal adalah Google dan implementasi kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana kita mulai rasakan saat ini. Peningkatan skill dan kemampuan individu sebagai Sumber Daya Manusia menjadi semakin menantang. Dengan tidak terbendungnya era disrupsi tersebut, maka kompetensi dan keterampilan lain yang belum bisa dikejar oleh teknologi (dalam hal ini kecerdasan buatan) dalam waktu dekat, perlu untuk segera ditanamkan dan ditingkatkan. Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah, keterampilan komunikasi (termasuk kemampuan berbahasa asing), kolaborasi, People Management, keterampilan berpikir kreatif dan inovasi serta mengasah Emotional Intelligence atau kecerdasan emosi hendaknya harus dimiliki oleh setiap individu yang bekerja di Birokrasi.

Gagasan atau langkah yang terakhir adalah adanya regenerasi pada Birokrasi dan sistem Pemerintahan. Organisasi publik, walaupun memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi privat, idealnya mampu menjalankan perannya dengan cara kerja/proses bisnis yang efisien, cepat dan gesit, apalagi instansi pemerintah yang berhadapan dengan pelayanan publik. Oleh karena itu memberikan ruang dan kesempatan yang lebih luas kepada kelompok usia produktif yang saat ini populer disebut generasi millenial (kelompok kelahiran tahun 1981 s.d 1995) merupakan sebuah opsi yang tepat untuk melakukan perubahan dan membuat suatu tatanan baru pada Birokrasi serta membentuk sistem Pemerintahan yang dinamis dan cepat berubah mengikuti laju zaman. Generasi millenial akan memainkan peran penting ke depan terutama dalam perekonomian Indonesia sehingga mampu meningkatkan kinerja pembangunan termasuk sumbangsih millenial terhadap pembangunan di Birokrasi pemerintah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) karakter yang dimiliki oleh generasi millenial yaitu connected, confident dan creative yang selanjutnya dapat dijabarkan terkait keunggulan yang dimiliki oleh generasi ini yaitu ingin serba cepat, mudah beradaptasi pada pekerjaan, kreatif, dinamis, melek teknologi dan dekat dengan media sosial. Namun tidak dapat disangkal bahwa saat ini masih ada keraguan dan penilaian atau anggapan bahwa sosok generasi millenial ini merupakan sosok yang belum matang dan belum cukup pantas menggantikan posisi generasi-generasi di atasnya. Karena itu, diperlukan keyakinan dan pemahaman yang terbuka serta sudut pandang yang lebih luas untuk menentukan serta menilai generasi baru ini sebagai penerus dari generasi senior yang saat ini memegang mayoritas kendali pada sistem Birokrasi dan pemerintahan.

Era disrupsi yang saat ini sudah bergerak cepat dan menyusup ke berbagai sektor dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali pada sistem Birokrasi dan menuntut adanya perubahan besar pada Birokrasi dan sistem pemerintahan. Perubahan dapat mulai dilakukan dimulai dengan proses penyederhanaan regulasi yang berubah menjadi suatu Birokrasi yang luwes, perubahan pola kerja menjadi serba digital atau online dalam rangka pelayanan publik yang lebih cepat dan efisien, peningkatan skill dan kompetensi para birokrat serta memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melanjutkan dan mengubah sistem menjadi lebih dinamis merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi era disrupsi yang tengah terjadi. Dengan adanya perubahan dan penyesuaian dimaksud diharapkan dapat memperkuat implementasi reformasi Birokrasi, meningkatkan kualitas para birokrat menjadi SDM yang handal dan profesional serta menciptakan pelayanan publik yang memenuhi harapan masyarakat.

 

Penulis:
Firman Yogantara.

Kanwil DJKN Kalimantan Barat.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini