Pada tanggal 14 Juli 2020, Ketua BPK RI, menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) kepada DPR RI. Penyampaian LHP tersebut merupakan bagian pelaksanaan
fungsi ekseminatif/inspektif yang dijalankan oleh BPK sesuai dengan UUD 1945. BPK
RI memberikan opini audit Wajat Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP 2019.
Makna Opini WTP
Opini
WTP merupakan kualitas opini tertinggi dalam audit laporan keuangan. Opini WTP
atas LKPP 2019 merupakan “quattrick”, sejak LKPP 2016. Hal ini merupakan
hasil dari upaya Pemerintah Pusat (Pemerintah) dalam membenahi sistem
pengelolaan keuangannya dan menyelesaikan rekomendasi audit BPK RI yang
konstruktif dalam perbaikan pengelolaan keuangan Pemerintah.
Opini WTP berarti LKPP menyajikan secara wajar semua informasi keuangan Pemerintah yang material sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sesuai UU Nomor 15 tahun 2004
tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, opini
merupakan pernyataan profesional atas informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Terdapat empat
kriteria pemberian opini audit BPK yaitu
kesesuaian dengan SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundangan, efektivitas
sistem pengendalian internal dan kecukupan pengungkapan (adequate disclosures). Dengan
opini WTP dapat disimpulkan tata kelola keuangan Pemerintah secara umum telah
baik.
Pengelolaan Utang Pemerintah
dan Makna Opini WTP
LKPP
2019 yang diaudit oleh BPK RI terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Laporan
Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Laporan Arus Kas, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan. Seluruh informasi
keuangan terkait dengan belanja, pendapatan, pembiayaan, aset, utang dan
ekuitas Pemerintah tersaji dengan lengkap. Dengan demikian selain memenuhi
akuntabilitas pengelolaan keuangan Pemerintah, LKPP juga memberikan
transparansi pengelolaan keuangan Pemerintah. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan
publik kepada Pemerintah. A lack of transparency results in distrust and
a deep of sense insecurity (Dalai Lama)
Salah
satu unsur laporan keuangan yang sering digunakan pengguna laporan keuangan
untuk melihat kesehatan keuangan suatu entitas adalah Neraca karena bersisikan
Aset, Utang dan Ekuitas entitas yang bersangkutan. Dari Neraca tersebut, para
pengguna dapat juga mengetahui beban entitas yang akan ditanggung di masa yang
akan datang, yang tergambar dari informasi utang Pemerintah.
Akhir-akhir
ini, beberapa pihak banyak membicarakan utang Pemerintah dan sering menjadi komoditas
politik yang sangat menarik termasuk di saat Pemilu. Sebenarnya, pinjaman
(utang) bagi suatu negara merupakan keniscayaan apalagi negara tersebut
merupakan negara yang sedang giat melakukan pembangunan.
Utang
Pemerintah termasuk utang luar negeri menambah modal Pemerintah yang menjadi
sumber pembiayaan pembangunan terutama untuk sektor-sektor produktif dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengejar ketertinggalan pembangunan.
Hal ini selaras dengan Laffer Curve Theory yang
menjelaskan dampak positif utang terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara pada tingkat jumlah utang yang wajar.
Salah satu ukuran kewajaran utang suatu negara adalah berdasarkan perbandingannya
dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah akumulasi
pinjaman Pemerintah maksimal 60 % dari PDB. Indonesia merupakan salah satu
negara yang berhasil menjaga kualitas kebijakan fiskalnya termasuk dalam
menjaga rasio pinjaman sebesar 30% dari PDB selama beberapa tahun ini.
Persentase tersebut jauh dibawah negara-negara lain di dunia, termasuk negara
maju misalnya Amerika Serikat sekitar 106,70% dari PDB-nya, Jepang sebesar 234,18% dan Singapura 109,37%.
Berdasarkan Neraca Pemerintah Per 31 Desember 2019, total utang
Pemerintah adalah sebesar Rp5.340,2 triliun. Sedangkan total aset Pemerintah
adalah sebesar Rp10.467,5 triliun. Dengan demikian, terdapat ekuitas Pemerintah
sebesar Rp5.127,3. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih mempunyai
kekayaan bersih, yaitu total aset sesudah dikurangi dengan utang, sebesar
Rp5.127,3.
Utang Pemerintah tersebut sebagian berasal dari pinjaman Pemerintah.
Porsi pinjaman Pemerintah terbesar berasal dari pinjaman dalam negeri melalui
penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Rasio pinjaman Pemerintah valuta asing
terhadap total pinjaman Pemerintah terus menurun hingga sekitar 38% (tahun
2018). Hal ini menunjukkan bahwa risiko kenaikan utang Pemerintah akibat
volatilitas valuta asing semakin berkurang.
Pengelolaan utang Pemerintah dilakukaan secara prudent dalam satu
kesatuan kebijakan untuk menciptakan fiskal yang kredibel dan sustainable.
Utang, sesuai dengan filosofinya, dilakukan untuk percepatan pembangunan
nasional melalui APBN. Pemerintah telah berhasil meningkatkan kredibilitas
fiskal dengan mendapat pengakuan dari lembaga pemeringkat dunia seperti S&P,
Fitch dan Moodys yang menempatkan Indonesia sebagai investment grade.
Demikian juga, dengan opini WTP atas LKPP, berarti tata kelola keuangan Pemerintah
termasuk tata kelola utang telah dilakukan secara wajar sesuai dengan best
practices. Pemerintah melakukan utang untuk rakyat, mengelola secara prudent,
akuntabel dan transparan.
( Edward UP Nainggolan, Kakanwil DJKN Kalbar)