Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Good isn’t good enough when better is expected
Hari Sutarmin
Jum'at, 14 Agustus 2020   |   559 kali


oleh Hari Sutarmin

Kepala Seksi Penilaian II Kanwil DJKN Bali dan Nusa Tenggara


Mendengarkan suntikan motivasi dari Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia, pada saat membuka Rapat Kerja Nasional Direktorat Jenderal kekayaan Negara (Rakernas DJKN) Senin 10 Agustus 2020, tentunya membakar adrenalin para punggawa DJKN, temasuk penulis. Penulis menangkap kegelisahan dan kegundahan Sri Mulyani akan DJKN. Mimpi beliau adalah menjadikan DJKN sebagai pengelola kekayaan negara sehingga dapat memberikan nilai tambah dan manfaat kepada masyarakat. Pada akhirnya  kekayaan negara dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia

Berkali kali Sri Mulyani menegaskan bahwa kita dalam situasi perang dimana semua negara dalam situasi bertahan dan berjuang melawan COVID-19. Semua negara terdesak mundur menuju jurang resesi ekonomi. Situasi terburuk akan melahirkan pemenang dan yang terbaik. Inilah momentum Kementerian Keuangan termasuk DJKN untuk menjawab dan menerima tantangan dlm situasi seperti ini.

Penulis hanyalah orang pinggiran, kelas daerah yang fakir data, pengalaman dan sudut pandang yang terbatas. Namun, kebanggaan penulis juga melambung dengan kemajuan yang ditorehkan oleh DJKN. Bukan hanya dari peningkatan kualitas sumber daya manusia, DJKN juga telah mampu melakukan perbaikan dan penyederhanaan proses bisnis pengelolaan kekayaan negara.

Akan tetapi “Good isn’t good enough when better is expected”. Baik saja tidak cukup, ketika lebih baik adalah yang diharapkan. Harapan Menteri Keuangan adalah membangunkan DJKN dari prematuren-ya puas diri DJKN atas kinerjanya. Institusi ini harus naik kelas, harus berada pada gelanggang yang lebih tinggi. Melengkapi diri dengan data, alat analisis sehingga kebijakan yang dilahirkan dapat tepat sasaran. Semuanya harus bergerak cepat, dinamis dan terus bersinergi. Karena slogan DJKN dinamis, maka perbaikan secara berkesinambungan adalah mutlak. Ketika yang terbaik yang kita harapkan, namun sampling data yang kita ambil pada saat pengambilan kebijakan tidak mencerminkan populasi yang ada maka bukanlah hal yang tabu untuk memperbaikinya.

Dalam situasi pandemi seperti ini, DJKN sebagai salah satu unit Eselon I di Kementerian Keuangan dituntut untuk dapat memberikan respon yang cepat, adaptif dengan adanya disrupsi, melompat mengambil risiko dalam pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Kondisi saat ini tentu berbeda dengan situasi krisis moneter tahun 1998 yang disebabkan karena rapuh dan ringkihnya sistem perbankan kita. Menyambar beberapa sektor dan memporak porandakan perekonomian yang dibangun sejak republik ini berdiri. Pada krisis moneter tahun 1998 laporan International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia secara makro sangatlah baik.  Namun, pengawasan dan regulasi perbankan yang tidak baik menyebabkan sektor ini menjadi bom waktu yang meledak pada krisis moneter tahun  1998.

Pada masa krisis tahun 1998, perekonomian Indonesia dapat pulih antara lain karena kita masih bisa mendapatkan bantuan dari negara yang sehat secara ekonomi dan lembaga donor lainnya yang ada. Selain itu, pengawasan dan kontrol perbankan yang menjadi lebih baik juga mampu mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia.

Saat ini kita seperti berada dalam situasi perang dan genting.  Malu rasanya jika kita hanya menjadi penumpang gelap. Setiap warga negara juga mempunyai keinginan dan harapan hidup yang lebih baik, layaknya harapan hidup yang dimiliki oleh semua punggawa DJKN. Sudah selayaknya setiap kita turut “mengangkat senjata” dalam “perang” yang sedang dihadapi negara kita saat ini. Setiap insan DJKN minimal harus bertanggung jawab atas kemajuan dirinya sendiri. Harus mampu dan mengasah diri sendiri, tidak berpuas dengan kondisi yang ada.

Kondisi perang seperti ini memaksa semua negara termasuk republik ini untuk menaikkan jumlah hutang. Keberadaan kekayaan negara diharapkan mampu menutup gap atau memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan jumlah hutang di sisi debit pada neraca.

Kekayaan negara harus memberikan value added dan memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia. Aset kita diharapkan bisa menjadi multiplier effect penggerak perekonomian masyarakat sekitar dan rakyat Indonesia secara umum. Setiap rupiah yang kita belanjakan baik itu untuk pengadaan maupun pemeliharaan aset seharusnya memberikan beban moral dan profesional bagi DJKN. Belanja negara seharusnya difokuskan ke belanja produktif yang dapat membantu pergerakan perekonomian.

Sekali lagi penulis hanyalah pegawai DJKN di unit vertikal yang berkeinginan DJKN menjadi penggerak perekonomian dengan kekayaan negara yang ada di genggamannya.

Masih ada warga negara di Republik ini yang berjuang dan bertahan hidup sendiri. Banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sedang berada di ujung tanduk, untuk bertahan hidup saja sangat susah. DJKN dengan Special Mission Vehicles (SMV) diharapkan mampu memberikan sambungan nyawa dan memberikan harapan hidup bagi UMKM yang terjepit. Tentunya ini memberikan tekanan moral dan profesionalisme kepada DJKN. Situasi genting dan urgent seperti ini harusnya direspon dengan lebih responsif dan cepat oleh DJKN. Diharapkan kita tidak rentan dan bertelinga tipis dengan masukan yang ada. DJKN harus kreatif dan tidak berpikir bisnis as usual, karena keadaan yang kita hadapi saat ini bukan kondisi normal.

Sri Mulyani berkali-kali melontarkan kenyataan tentang berapa banyak aset negara yang “tidur”. Dengan berat hati, pada kenyataannya dalam ruang lingkup yang sempit penulis temukan kenyataannya di lapangan. Penulis mengaku bingung dan keheranan dengan kenyataan di lapangan.

Penulis pernah bertugas melaksanakan penilaian dalam rangka pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) berupa bangunan dermaga Tanah Ampo di Kabupaten Karang Asem Propinsi Bali. Terjadi multiinvestor di pelabuhan tersebut yang melibatkan 3 (tiga) pihak. Kementerian Perhubungan dengan pembangunan dermaga Ampo dengan nilai perolehan sekitar Rp70 Milyar. Dermaga tersebut berdiri di tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Karang Asem seluas +/- 1 ha. Dan di atas tanah tersebut berdiri juga bangunan terminal yang dibangun oleh Pemerintah Propinsi Bali dengan nilai perolehan sekitar Rp9 Milyar.

Dermaga Tanah Ampo dibangun mulai tahun 2007 dan selesai pada tahun 2009. Harapan dibangunnya dermaga Tanah Ampo adalah untuk pemerataan pendapatan penduduk sekitar. Selama ini, kapal pesiar hanya berlabuh di pelabuhan Benoa. Agar terjadi pemerataan dan pergeseraan uang yang beredar maka dibangunlah dermaga Tanah Ampo. Diharapkan pelabuhan Tanah Ampo akan menarik beberapa kapal pesiar yang selama ini singgah di Benoa.

Akan tetapi, sampai saat ini belom ada satupun kapal pesiar yang sandar di dermaga Tanah Ampo. Berapa banyak rupiah yang terkubur disana? Rupiah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Berdasarkan informasi dari Pemerintah Daerah bahwa pada saat peresmian dermaga Tanah Ampo sekitar tahun 2012, pernah sandar kapal pesiar. Akan tetapi karena dermaga yang terlalu kecil dermaganya sehingga dermaga bergetar dan goyang. Sayangnya, itu adalah kapal pesiar pertama dan terakhir yang pernah singgah.

Kualifikasi teknis tentunya ada di kementerian sektoral dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Apakah sebelum pembangunan dermaga terserbut sudah ada studi kelayakan atau tidak? Layak atau tidak penulis kurang paham, tetapi itulah potret di lapangan.

Yang membuat penulis heran adalah adanya tambahan dana Rp 25 Milyar untuk pembangunan pemecah ombak dan semacam "kolam" di dermaga Tanah Ampo tersebut pada tahun 2019. Bagaimana bisa uang Rp70 Milyar (belum ditambah dengan nilai bangunan terminal dermaga) menganggur selama kurang lebih 10 tahun dan saat ini ditambah lagi Rp25 Milyar untuk pembangunan baru dermaga Tanah Ampo.

Menurut pandangan penulis, seyogyanya DJKN selaku pengelola kekayaan negara yang tentunya memiliki akses untuk mengetahui aset mana saja yang idle, mana saja yang sudah usefull akan dapat berperan dalam persetujuan pengucuran dana untuk pengembangan BMN. DJKN dapat bersinergi dengan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) untuk secara selektif mememberikan filter dalam merestui APBN untuk pembangunan dermaga di tahun 2019 tersebut.

Kedua, penulis memandang DJKN melalui Direktorat Penilaian memposisikan dirinya sebagai pemilik lahan. Sehingga rupiah yang harus diterima negara dalam hal ini pemilik lahan, disamakan dengan penghitungan di sektor private.

Menurut hemat penulis seharusnya cost of capital pemerintah atau aset publik seharusnya lebih kecil bila dibandingkan dengan cost of capital aset privat.  Dengan semakin kecilnya cost of capital pemerintah maka kontribusi tetap, profit sharing atau sewa yang diterima pemerintah lebih kecil dari hitungan yang ada.  Uang tunai yang diterima pemerintah memang terlihat lebih kecil, tapi multiplier effect dari pemanfaatan aset negara akan membantu pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan pembayaran pajak pusat dan daerah, mendorong peningkatan investasi dan konsumsi masyarakat akan meningkat. Secara agregat perekonomian sekitar akan terdongkrak naik. Apabila terjadi penundaan ataupun pembatalan pemanfaatan aset maka opportunity cost juga akan muncul. Jangan sampai kita sendiri menjadi rem dalam  menggerakkan ekonomi nasional.

Ada fungsi pemerintah sebagai penyedia infrastruktur,  ataupun fungsi layanan  lainnya, yang seharusnya menjadi faktor pengurang dalam menentukan cost of capital pemerintah. Karena sekali lagi, DJKN bukan perusahaan swasta yang semata mata mencari keuntungan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yg berkewajiban menyetor deviden ke negara.

Ada “hidden rock”  yang harus dipecahkan dan dikuliti penilai pemerintah dalam menentukan cost of capital pemerintah. Ini yang penulis lihat diabaikan oleh Penilai DJKN, karena teman-teman Penilai memposisikan diri sebagai pemilik lahan. Sehingga kontribusi tetap dan profit sharing yang disampaikan Penilai DJKN akan cukup besar jika dilihat dari kacamata mitra. Akan ada lag time dan optimalisasi aset tidak bisa terwujud.

Inilah yang penulis tangkap bahwa DJKN harus berani melompat keluar. Saat ini kita adalah saksi perubahan. Dari hal-hal kecil yang mengubah kebiasaan kita sampai revolusi besar yang diam-diam mematikan suatu peradaban. Seperti kata Stephen Elop (nokia), " Kami tidak melakukan kesalahan apapun, tiba-tiba kami kalah dan punah."

Tentunya ini semua hanya sudut pandang penulis yang sempit dan sangat terbatas sehingga akan banyak ditemukan pertentangan. Semangat penulis adalah DJKN mampu melompat ke depan menerima tantangan sebagaimana pesan Menteri Keuangan yang kita cintai.



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini