oleh Hari
Sutarmin
Kepala Seksi Penilaian II Kanwil DJKN Bali dan Nusa Tenggara
Mendengarkan suntikan motivasi
dari Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia, pada saat
membuka Rapat Kerja Nasional Direktorat Jenderal kekayaan Negara (Rakernas
DJKN) Senin 10 Agustus 2020, tentunya membakar adrenalin para punggawa
DJKN, temasuk penulis. Penulis menangkap kegelisahan dan kegundahan Sri
Mulyani akan DJKN. Mimpi beliau adalah menjadikan DJKN sebagai pengelola
kekayaan negara sehingga dapat memberikan nilai tambah dan manfaat kepada
masyarakat. Pada akhirnya kekayaan
negara dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia
Berkali kali Sri Mulyani
menegaskan bahwa kita dalam situasi perang dimana semua negara dalam situasi
bertahan dan berjuang melawan COVID-19. Semua negara terdesak mundur menuju
jurang resesi ekonomi. Situasi terburuk akan melahirkan pemenang dan yang
terbaik. Inilah momentum Kementerian Keuangan termasuk DJKN untuk menjawab dan
menerima tantangan dlm situasi seperti ini.
Penulis hanyalah orang pinggiran,
kelas daerah yang fakir data, pengalaman dan sudut pandang yang terbatas.
Namun, kebanggaan penulis juga melambung dengan kemajuan yang ditorehkan oleh
DJKN. Bukan hanya dari peningkatan kualitas sumber daya manusia, DJKN juga
telah mampu melakukan perbaikan dan penyederhanaan proses bisnis pengelolaan
kekayaan negara.
Akan tetapi “Good isn’t good enough when better is expected”. Baik saja tidak
cukup, ketika lebih baik adalah yang diharapkan. Harapan Menteri Keuangan
adalah membangunkan DJKN dari prematuren-ya puas diri DJKN atas kinerjanya. Institusi
ini harus naik kelas, harus berada pada gelanggang yang lebih tinggi. Melengkapi
diri dengan data, alat analisis sehingga kebijakan yang dilahirkan dapat tepat
sasaran. Semuanya harus bergerak cepat, dinamis dan terus bersinergi. Karena
slogan DJKN dinamis, maka perbaikan secara berkesinambungan adalah mutlak.
Ketika yang terbaik yang kita harapkan, namun sampling data yang kita ambil pada
saat pengambilan kebijakan tidak mencerminkan populasi yang ada maka bukanlah hal
yang tabu untuk memperbaikinya.
Dalam situasi pandemi seperti
ini, DJKN sebagai salah satu unit Eselon I di Kementerian Keuangan dituntut
untuk dapat memberikan respon yang cepat, adaptif dengan adanya disrupsi,
melompat mengambil risiko dalam pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar
besarnya kemakmuran rakyat.
Kondisi saat ini tentu berbeda
dengan situasi krisis moneter tahun 1998 yang disebabkan karena rapuh dan
ringkihnya sistem perbankan kita. Menyambar beberapa sektor dan memporak
porandakan perekonomian yang dibangun sejak republik ini berdiri. Pada krisis
moneter tahun 1998 laporan International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa
kondisi perekonomian Indonesia secara makro sangatlah baik. Namun, pengawasan dan regulasi perbankan yang
tidak baik menyebabkan sektor ini menjadi bom waktu yang meledak pada krisis
moneter tahun 1998.
Pada masa krisis tahun 1998, perekonomian Indonesia dapat pulih antara lain karena kita masih bisa
mendapatkan bantuan dari negara yang sehat secara ekonomi dan lembaga donor
lainnya yang ada. Selain itu, pengawasan dan kontrol perbankan yang menjadi lebih
baik juga mampu mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia.
Saat ini kita seperti berada
dalam situasi perang dan genting. Malu
rasanya jika kita hanya menjadi penumpang gelap. Setiap warga negara juga
mempunyai keinginan dan harapan hidup yang lebih baik, layaknya harapan hidup
yang dimiliki oleh semua punggawa DJKN. Sudah selayaknya setiap kita turut
“mengangkat senjata” dalam “perang” yang sedang dihadapi negara kita saat ini.
Setiap insan DJKN minimal harus bertanggung jawab atas kemajuan dirinya
sendiri. Harus mampu dan mengasah diri sendiri, tidak berpuas dengan kondisi
yang ada.
Kondisi perang seperti ini
memaksa semua negara termasuk republik ini untuk menaikkan jumlah hutang.
Keberadaan kekayaan negara diharapkan mampu menutup gap atau memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan jumlah hutang
di sisi debit pada neraca.
Kekayaan negara harus memberikan value added dan memberikan manfaat
kepada rakyat Indonesia. Aset kita diharapkan bisa menjadi multiplier effect penggerak perekonomian masyarakat sekitar dan
rakyat Indonesia secara umum. Setiap rupiah yang kita belanjakan baik itu untuk
pengadaan maupun pemeliharaan aset seharusnya memberikan beban moral dan
profesional bagi DJKN. Belanja negara seharusnya difokuskan ke belanja
produktif yang dapat membantu pergerakan perekonomian.
Sekali lagi penulis hanyalah
pegawai DJKN di unit vertikal yang berkeinginan DJKN menjadi penggerak
perekonomian dengan kekayaan negara yang ada di genggamannya.
Masih ada warga negara di
Republik ini yang berjuang dan bertahan hidup sendiri. Banyak Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) yang sedang berada di ujung tanduk, untuk bertahan hidup
saja sangat susah. DJKN dengan Special
Mission Vehicles (SMV) diharapkan mampu memberikan sambungan nyawa dan
memberikan harapan hidup bagi UMKM yang terjepit. Tentunya ini memberikan
tekanan moral dan profesionalisme kepada DJKN. Situasi genting dan urgent
seperti ini harusnya direspon dengan lebih responsif dan cepat oleh DJKN.
Diharapkan kita tidak rentan dan bertelinga tipis dengan masukan yang ada. DJKN
harus kreatif dan tidak berpikir bisnis as
usual, karena keadaan yang kita hadapi saat ini bukan kondisi normal.
Sri Mulyani berkali-kali
melontarkan kenyataan tentang berapa banyak aset negara yang “tidur”. Dengan
berat hati, pada kenyataannya dalam ruang lingkup yang sempit penulis temukan
kenyataannya di lapangan. Penulis mengaku bingung dan keheranan dengan
kenyataan di lapangan.
Penulis pernah bertugas melaksanakan
penilaian dalam rangka pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) berupa bangunan
dermaga Tanah Ampo di Kabupaten Karang Asem Propinsi Bali. Terjadi
multiinvestor di pelabuhan tersebut yang melibatkan 3 (tiga) pihak. Kementerian
Perhubungan dengan pembangunan dermaga Ampo dengan nilai perolehan sekitar Rp70
Milyar. Dermaga tersebut berdiri di tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Karang Asem
seluas +/- 1 ha. Dan di atas tanah tersebut berdiri juga bangunan terminal yang
dibangun oleh Pemerintah Propinsi Bali dengan nilai perolehan sekitar Rp9 Milyar.
Dermaga Tanah Ampo dibangun mulai
tahun 2007 dan selesai pada tahun 2009. Harapan dibangunnya dermaga Tanah Ampo
adalah untuk pemerataan pendapatan penduduk sekitar. Selama ini, kapal pesiar
hanya berlabuh di pelabuhan Benoa. Agar terjadi pemerataan dan pergeseraan uang
yang beredar maka dibangunlah dermaga Tanah Ampo. Diharapkan pelabuhan Tanah Ampo
akan menarik beberapa kapal pesiar yang selama ini singgah di Benoa.
Akan tetapi, sampai saat ini belom
ada satupun kapal pesiar yang sandar di dermaga Tanah Ampo. Berapa banyak
rupiah yang terkubur disana? Rupiah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk
menyejahterakan rakyat Indonesia.
Berdasarkan informasi dari
Pemerintah Daerah bahwa pada saat peresmian dermaga Tanah Ampo sekitar tahun
2012, pernah sandar kapal pesiar. Akan tetapi karena dermaga yang terlalu kecil
dermaganya sehingga dermaga bergetar dan goyang. Sayangnya, itu adalah kapal
pesiar pertama dan terakhir yang pernah singgah.
Kualifikasi teknis tentunya ada
di kementerian sektoral dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Apakah sebelum
pembangunan dermaga terserbut sudah ada studi kelayakan atau tidak? Layak atau
tidak penulis kurang paham, tetapi itulah potret di lapangan.
Yang membuat penulis heran adalah
adanya tambahan dana Rp 25 Milyar untuk pembangunan pemecah ombak dan semacam
"kolam" di dermaga Tanah Ampo tersebut pada tahun 2019. Bagaimana
bisa uang Rp70 Milyar (belum ditambah dengan nilai bangunan terminal dermaga)
menganggur selama kurang lebih 10 tahun dan saat ini ditambah lagi Rp25 Milyar
untuk pembangunan baru dermaga Tanah Ampo.
Menurut pandangan penulis,
seyogyanya DJKN selaku pengelola kekayaan negara yang tentunya memiliki akses
untuk mengetahui aset mana saja yang idle, mana saja yang sudah usefull akan dapat berperan dalam
persetujuan pengucuran dana untuk pengembangan BMN. DJKN dapat bersinergi
dengan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) untuk secara selektif mememberikan
filter dalam merestui APBN untuk pembangunan dermaga di tahun 2019 tersebut.
Kedua, penulis memandang DJKN
melalui Direktorat Penilaian memposisikan dirinya sebagai pemilik lahan.
Sehingga rupiah yang harus diterima negara dalam hal ini pemilik lahan,
disamakan dengan penghitungan di sektor private.
Menurut hemat penulis seharusnya cost of capital pemerintah atau aset
publik seharusnya lebih kecil bila dibandingkan dengan cost of capital aset privat.
Dengan semakin kecilnya cost of
capital pemerintah maka kontribusi tetap, profit sharing atau sewa yang diterima pemerintah lebih kecil dari
hitungan yang ada. Uang tunai yang
diterima pemerintah memang terlihat lebih kecil, tapi multiplier effect dari pemanfaatan aset negara akan membantu
pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan pembayaran pajak pusat
dan daerah, mendorong peningkatan investasi dan konsumsi masyarakat akan
meningkat. Secara agregat perekonomian sekitar akan terdongkrak naik. Apabila
terjadi penundaan ataupun pembatalan pemanfaatan aset maka opportunity cost juga akan muncul. Jangan sampai kita sendiri
menjadi rem dalam menggerakkan ekonomi
nasional.
Ada fungsi pemerintah sebagai
penyedia infrastruktur, ataupun fungsi
layanan lainnya, yang seharusnya menjadi
faktor pengurang dalam menentukan cost of
capital pemerintah. Karena sekali lagi, DJKN bukan perusahaan swasta yang
semata mata mencari keuntungan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yg berkewajiban
menyetor deviden ke negara.
Ada “hidden rock” yang harus
dipecahkan dan dikuliti penilai pemerintah dalam menentukan cost of capital pemerintah. Ini yang
penulis lihat diabaikan oleh Penilai DJKN, karena teman-teman Penilai
memposisikan diri sebagai pemilik lahan. Sehingga kontribusi tetap dan profit sharing yang disampaikan Penilai DJKN
akan cukup besar jika dilihat dari kacamata mitra. Akan ada lag time dan optimalisasi aset tidak
bisa terwujud.
Inilah yang penulis tangkap bahwa
DJKN harus berani melompat keluar. Saat ini kita adalah saksi perubahan. Dari
hal-hal kecil yang mengubah kebiasaan kita sampai revolusi besar yang diam-diam
mematikan suatu peradaban. Seperti kata Stephen Elop (nokia), " Kami tidak
melakukan kesalahan apapun, tiba-tiba kami kalah dan punah."
Tentunya ini semua hanya sudut pandang penulis yang sempit dan sangat terbatas sehingga akan banyak ditemukan pertentangan. Semangat penulis adalah DJKN mampu melompat ke depan menerima tantangan sebagaimana pesan Menteri Keuangan yang kita cintai.