Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita Media DJKN
Sumber Kisruh Kenaikan Harga Elpiji
okezone.com, 6 Januari 2014
 Selasa, 07 Januari 2014 pukul 10:24:39   |   463 kali

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) minggu sore kemarin mengungkap kenaikan harga Elpiji 12 kilogram (Kg) didorong oleh hasil audit BPK. Berdasarkan audit tersebut BPK  menemukan kerugian sebesar Rp7,7 triliun di Pertamina dalam bisnis elpiji 12 Kg.

Pertamina melalui RUPS berupaya menutup kerugian dengan cara menaikkan harga Elpiji 12 Kg sebesar 68 persen. Tindakan Pertamina ini diduga karena kekhawatiran para manajemen untuk dibawa ke ranah pidana oleh aparat penegak hukum.

Mengapa demikian?

Ini karena masalah klasik bahwa uang BUMN, dalam hal ini Pertamina, adalah uang negara. Menurut Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara maka Keuangan Negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.  Dengan demikian kerugian 7,7 triliun yang diindikasikan oleh BPK di Pertamina dapat dianggap sebagai kerugian negara.

Menurut Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara" dapat dipidana.

Dalam rumusan pasal tersebut dirujuk istilah Keuangan Negara yang dalam penjelasan umum dari UU Tipikor disebutkan bahwa, "Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan". Oleh karenanya tidak heran bila temuan kerugian oleh BPK disikapi oleh manajemen Pertamina untuk menutup kerugian tersebut melalui kenaikan harga.

Padahal kerugian yang diderita oleh Pertamina bisa jadi bukan karena tindakan koruptif, melainkan tindakan inefisiensi karena memulai suatu bisnis baru atau keputusan bisnis (business judgement).

Dalam dunia bisnis bisa saja untuk memulai suatu kegiatan bisnis di awal akan menderita kerugian. Namun dengan berjalannya bisnis tersebut maka kegiatan tersebut akan memberi keuntungan, bahkan semakin efisien.

Lebih repot lagi dalam rumusan pasal 2 UU Tipikor tidak ada kata "dengan sengaja". Kata "dengan sengaja" dalam hukum pidana sangat penting. Kata ini yang membedakan perbuatan jahat yang didasarkan pada suatu niat jahat (mens rea) dan yang tidak berdasarkan suatu niat jahat.

Dalam pengelolaan keuangan negara yang seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang sejak awal "diniatkan" untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.

Bila kerugian negara tidak "diniatkan" secara jahat karena tindakan mala administrasi, atau dalam BUMN merupakan tindakan bisnis atau komersial maka tidak seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi.

Bagi manajemen BUMN, adalah tidak adil bila tindakan korporat layaknya perusahaan swasta, yang karena keputusan bisnis berakibat pada suatu kerugian lalu harus dituduh melakukan tindak pidana korupsi.

Siapapun tidak mau dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan harus mendekam dipenjara bila tidak pernah ada "niat jahat" untuk merampok uang negara ataupun BUMN.

Tidak heran bila Presiden memberi dalam ultimatum kepada Pertamina untuk meninjau "harga" kenaikan elpiji dalam waktu 1x24 jam disertai kata-kata "dengan memperhatikan ketentuan undang-undang".

Ini karena Presiden pun tidak mau dituduh menjadi pihak yang mendorong Pertamina untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam perspektif inilah pertemuan sejumlah Menteri dan Pertamina dengan BPK menjadi penting. Bagaimana sikap BPK terhadap kerugian BUMN? Apakah tetap menjadi kerugian negara atau tidak? Ujungnya kesejahteraan rakyat yang harus menjadi pertimbangan semua.


Hikmahanto Juwana
Guru Besar Ilmu Hukum FHUI ()

Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini