Kebijakan holding BUMN Migas telah mulai bergulir setelah pemerintah
menerbitkan PP No 6/2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Pertamina. Sebelumnya, pemerintah merevisi PP No 44/2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas, dengan PP No 72/2016.
Meski telah mulai bergulir, pelaksanaan kebijakan holding BUMN Migas
belum sepenuhnya diterima. Dalam hal ini terdapat perhatian dari
sejumlah stakeholder agar regulasi holding BUMN Migas, PP No 44/2005 jo
PP No 72/2016 dan PP No 6/2018 tidak bertentangan dengan UU No 17/2003
tentang Keuangan Negara dan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopali dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Salah satu perhatian yang mengemuka terkait UU Keuangan Negara adalah
mengenai perlu tidaknya persetujuan DPR dalam pelaksanaan holding BUMN
Migas. Perhatian ini mengemuka terkait adanya pendapat bahwa setiap
tindakan yang berkaitan dengan BUMN terutama yang menyangkut pengalihan
saham harus melalui persetujuan DPR.
Sementara itu, perhatian terkait UU Persaingan Usaha yang mengemuka
adalah mengenai adanya potensi pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (2),
Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 25 ayat
(1 2), Pasal 27, dan Pasal 28 UU No 5/1999 akibat pembentukan holding
BUMN Migas. Poin sejumlah pasal tersebut adalah mengenai larangan pelaku
usaha mendominasi pasar, baik dari aspek pembelian maupun penjualan.
Dalam hal ini satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dilarang
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Telaah UU
Berdasarkan telaah terhadap UU Keuangan Negara, dapat dikatakan pelaksanaan kebijakan holding BUMN Migas relatif sejalan dengan UU ini.
Ketentuan Pasal 3 ayat (8) UU Keuangan Negara yang mengamanatkan
penyertaan modal pada BUMN harus melalui persetujuan DPR dapat dikatakan
tidak berlaku bagi penyertaan modal saham dalam konteks holding BUMN
Migas. Penyertaan modal negara yang dimaksud oleh pasal ini yang mana
harus melalui persetujuan DPR adalah untuk penyertaan modal negara yang
berasal dari surplus APBN.
Ketentuan Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara yang mengamanatkan
penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara yang harus mendapat
persetujuan DPR dapat dikatakan berbeda dan tidak dapat diberlakukan
terhadap kebijakan holdingBUMN Migas. Berdasarkan ketentuan UU BUMN,
pengalihan saham BUMN dapat dilakukan melalui dua mekanisme; privatisasi
dan non privatisasi. Pengalihan saham BUMN melalui mekanisme
privatisasi harus memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan
persetujuan DPR. Sementara itu, pengalihan saham non privatisasi tidak
diharuskan memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan persetujuan DPR.
Hal yang sama juga diatur oleh Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara,
khususnya mengenai kebijakan privitasisasi.
Dalam hal penambahan penyertaan modal negara sebanyak 13.809.038.755
(tiga belas miliar delapan ratus sembilan juta tiga puluh delapan ribu
tujuh ratus lima puluh lima) saham seri B pada PT Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk ke dalam saham PT Pertamina (Persero) yang dilakukan
pemerintah dapat dikatakan merupakan pengalihan saham BUMN melalui
mekanisme non privatisasi. Sehingga dalam hal ini ketentuan Pasal 24
ayat (5) UU Keuangan Negara tidak dapat diberlakukan untuk kebijakan
holding BUMN Migas.
Selengkapnya: pdf