Medan – Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berkolaborasi dengan Masyarakat Profesi Penilai
Indonesia (MAPPI) dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum
dan HAM menyelenggarakan kegiatan konsultasi publik Rancangan Undang-Undang
tentang Penilai guna menggali masukan/partisipasi publik (meaningful
participation) pada Jumat, (10/3) di Aula Rekreasi Gedung Keuangan Negara Medan.
Kegiatan konsultasi publik ini
merupakan salah satu tahapan penting dalam penyempurnaan Rancangan
Undang-Undang tentang Penilai. Kepala Kanwil DJKN Sumatera Utara Tedy
Syandriadi menyampaikan apresiasi kepada seluruh undangan dan mengharapkan
saran serta masukan sehingga Rancangan Undang-Undang tentang Penilai dapat
segera diundangkan guna memberikan kebaikan bagi masyarakat.
“Pemerintah melalui Kementerian
Keuangan c.q. DJKN telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penilai yang
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum dan pembentukan
pusat data transaksi properti nasional yang valid serta berdampak tidak hanya
kepada insan Penilai Indonesia namun juga kepada masyarakat dalam melakukan
aktivitas ekonominya,” ujar Tedy
Direktur Penilaian DJKN Arik
Haryono dalam sambutannya menyampaikan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi
urgensi kenapa UU Tentang Penilai itu perlu ada, yang pertama, UU Tentang
Penilai mendukung penerimaan optimalisasi negara. “Dengan adanya UU Tentang
Penilai, diharapkan dapat menjadi payung hukum terbentuknya data transaksi
nasional yang valid. Sehingga dapat mengikat pihak – pihak yang melakukan
transaksi properti untuk melaporkan transaksinya secara valid yang tentu saja
akan mendukung optimalisasi penerimaan Negara,” ujarnya.
Kedua, lanjut Arik, adalah
mendukung upaya pencegahan krisis ekonomi. Salah satu amanat dalam RUU Tentang
Penilai adalah pembentukan basis data transaksi properti yang valid. Dengan
adanya basis data tersebut, dapat menekan Non Performing Loan (NPL) dari sektor
perbankan dan revocery rate karena nilai yang dihasilkan akan lebih valid
karena didukung dengan data transaksi yang valid.
“Ketiga, UU Tentang Penilai
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat dan Penilai.
Dengan adanya payung hukum setingkat undang – undang, pelayanan hukum yang
diberikan kepada masyarakat dapat lebih optimal dan hasil penilaian juga lebih
kredibel, selain itu juga bagi Penilai akan mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai,” tambah Arik.
Dalam kesempatan yang sama Kepala
Pusat Perencanaan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional menyampaikan
bahwa RUU Tentang Penilai saat ini sudah masuk dalam tahap harmonisasi dan
penyelarasan Naskah Akademik RUU Tentang Penilai sudah dilakukan oleh BPHN Kementerian
Hukum dan HAM, sehingga merujuk Pasal 96 Undang-Undang No.13 tahun 2022 perlu
dilakukan kegiatan sosialisasi publik guna menggali masukan/partisipasi publik
(meaningful participation).
"Dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, diperlukan partisipasi masyarakat secara bermakna
(meaningful participation-red) yang memenuhi tiga prasyarat yaitu, hak untuk
didengarkan pendapatnya (right to be heard-red), hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau
jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained-red)," ungkap
Kristomo.
Kristomo menambahkan, pemenuhan
meaningful participation ini menjadi tolak ukur suatu produk hukum telah
tersusun dengan sempurna secara formil sehingga secara materiil juga memenuhi
rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat.
Untuk mendapatkan aspirasi dari masyarakat luas kegiatan Konsultasi Publik RUU Tentang Penilai ini juga akan diselenggarakan di beberapa kota seperti Denpasar, Solo, Balikpapan dan Makasar. Selain melalui kegiatan Konsultasi Publik RUU Tentang Penilai masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasi serta pendapatnya melalui kanal khusus milik Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM pada laman Partisipasiku.bphn.go.id. (Humas Kanwil DJKN Sumatera Utara)