Palembang – Forum Asset and Liabillites Committee
(ALCo) Sumatera Selatan yang beranggotakan seluruh Kantor Wilayah Kementerian
Keuangan di Sumatera Selatan mengungkapkan hingaa 30 Juni 2022, Kemenkeu
Sumatera Selatan meraup pendapatan negara terealisasi Rp8,52 triliun atau
mencapai 57,44 persen dari target pendapatan yang ditetapkan dimana pendapatan
ini terdiri dari Penerimaan perpajakan sebesar Rp7,4 triliun dan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1,1 triliun. Adanya kenaikan pada
pendapatan dibanding tahun lalu sebesar Rp.2,96 triliun atau tumbuh sebanyak
53,28 persen. Kenaikan terbesar disumbang oleh Pajak Penghasilan sebesar Rp1,81
triliun yang lebih tinggi 68,15 persen dari tahun 2021 lalu.
Hal ini terungkap dalam Press Coference yang diselenggarakan
Alco pada Jumat, (29/7) di Aula lantai 5 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung.
Konferensi Pers ini juga mengungkap kinerja APBN Sumatera
Selatan dari sisi pendapatan, pengeluaran serta isu strategis sampai dengan 30
Juni 2022. Sementara itu, untuk realisasi belanja negara sebesar Rp.17,8
triliun atau mencapai 43,87persen dari pagu yang ditetapkan yang terdiri dari
belanja pemerintah pusat sebesar Rp.5,4 triliun dan belanja Transfer ke Daerah
dan Dana Desa (TKDD) sebanyak Rp12,4 triliun.
Belanja pemerintah pusat ini terdiri dari belanja pegawai
Rp2,5 triliun, belanja barang Rp1,99 triliun, belanja modal Rp929,16 miliar,
dan belanja sosial Rp5,97 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun lalu, terdapat
penurunan sebesar Rp863 miliar atau sebanyak 13,78 persen yang disebabkan oleh
belanja modal yang secara pagu maupun realisasi yang lebih rendah dibandingkan
tahun 2021.
Belanja Modal 2021 lebih tinggi dikarenakan terdapat
beberapa proyek yang merupakan carry over dari tahun 2020. Untuk belanja TKDD
terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp2,2 triliun, Dana Alokasi Umum
(DAU) Rp.6,4 triliun, dan Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) Rp127,6 miliar.
Lalu Dana Insentif Daerah (DID) Rp.69,07 miliar, DAK non Fisik Rp.2,3 triliun,
dan Dana Desa Rp1,2 miliar. Realisasi TKDD ini mengalami penurunan sebesar
Rp.1,04 triliun yang lebih rendah 7,91persen dari tahun lalu.
Pemulihan ekonomi di Sumatera Selatan masih berjalan on
track, namun tetap perlu mewaspadai berbagai gejolak ekonomi baik yang berasal
dari global maupun nasional. Gejolak Inflasi Sumsel periode ini juga
menunjukkan level yang lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang
disebabkan oleh volatile foods, utamanya karena terjadi gangguan pada di sisi
penawaran (sentra produksi). Mengingat Garis Kemiskinan (GK) disusun
berdasarkan kelompok komoditas yang 74,34 persen di antaranya adalah kelompok
makanan, maka pengendalian inflasi perlu perhatian berbagai pihak
berkepentingan.
Pada periode ini, nilai tukar Rupiah juga mengalami tekanan
yang juga dialami oleh mata uang regional lainnya. Tekanan ini terjadi seiring
dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan
kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara. Depresiasi Nilai Tukar
yang terjadi memiliki sisi positif dan negatif bagi perekonomian Sumsel.
Positifnya, depresiasi nilai dapat meningkatkan ekspor Sumsel. Namun terdapat
risiko dari sisi impor, akan berpengaruh pada
sisi biaya produksi karena saat ini impor Sumsel didominasi oleh Impor
Bahan Baku dan Impor Barang Modal.
Pada kondisi berbagai tekanan, APBN harus terus berperan dalam menyerap
tekanan-tekanan terhadap perekonomian (shock absorber) guna menjaga pemulihan
ekonomi agar tetap berlanjut dan semakin kuat, menjaga daya beli masyarakat,
dan mendukung konsolidasi fiskal.
Akselerasi belanja pemerintah perlu respon tepat dan cepat dalam
menghadapi ketidakpastian global. Menjadi keharusan APBN 2022 tetap kuat,
sehat, dan menjadi instrumen kebijakan yang sustainable dan kredibel. Termasuk
Kinerja APBD perlu untuk terus didorong guna mendukung proses pemulihan ekonomi
yang sedang berjalan. (Tim KIHI DJKN SJB-20)