Jakarta – Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih
Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) menggelar Focus
Group Discussion (FGD) dengan tema Pencucian Uang pada Senin, (6/6) di aula Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Jakarta yang digelar secara
hybrid melalui tatap muka dan zoom meeting, yang dihadiri oleh segenap anggota
Satgas BLBI.
Koordinator Tim Kelompok Kerja A (Tim Pokja A) Satgas BLBI Agustina
Arumsari menyampaikan bahwa Satgas BLBI memiliki tantangan yang tidak mudah
dalam menjalankan tugas menagih hak negara. Ia mengatakan disamping waktu
kejadian yang sudah terlampau lama, acap kali data, dokumen dan alat bukti yang
dibutuhkan telah berpindah tangan. Tidak menutup kemungkinan adanya modus
operandi atau praktik pencucian uang dilakukan oleh obligor maupun debitur yang
selama ini telah menikmati dana BLBI.
“Saya berharap diskusi tentang tindak pidana pencucian uang
kali ini, dapat memberikan guidance untuk anggota Satgas, serta memberikan
keyakinan bahwa upaya hukum yang nanti akan kita lakukan terhadap aset-aset
yang berasal dari dana BLBI dapat kita maksimalkan untuk pengembalian hak
kepada negara,” tegasnya.
FGD mengenai pencucian uang dipimpin oleh Moderator yakni
Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) DJKN Kementerian Keuangan Purnama T.
Sianturi dengan dua narasumber yaitu Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti
Jakarta Yenti Garnasih dan Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim.
Narasumber pertama, Doktor Pencucian Uang Universitas
Trisakti Yenti Garnasih menyampaikan bahwa Indonesia termasuk negara yang cukup
terlambat dalam menerapkan undang-undang tindak pidana pencucian uang. Tercatat
bahwa undang-undang terkait pencucian uang, baru diterbitkan di tahun 2002
melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ia menjelaskan bahwa pencucian uang merupakan suatu
tindakan penyamaran atau penyembunyian hasil kejahatan, dengan maksud mengubah hasil kejahatan menjadi nampak
seperti hasil dari kegiatan yang sah.
Dari pengertian dimaksud, Yenti menekankan bahwa tindak
pidana pencucian uang selalu disertai dengan tindak kejahatan yang utama,
sehingga perlu pembuktian terhadap keduanya.
“Terdapat tiga tahapan dalam pencucian uang, pertama placement,
menempatkan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, kedua layering, yang
merupakan lanjutan tahap placement dengan transaksi yang lebih rumit, dan yang
terakhir integration, memasukan kembali
harta yang telah di-layering ke dalam aktivitas bisnis yang sah,” papar
narasumber yang juga berprofesi sebagai pengajar di bidang hukum ini.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa, ketiga tahapan tersebut
tidak mutlak harus ada. Cukup salah satu tahapan dilakukan, bisa dikategorikan
sebagai unsur tindak pencucian uang.
Narasumber kedua, Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim memberikan paparan
mengenai rekomendasi konstruksi hukum dalam upaya pembuktian adanya tindak
pencucian uang terkait kasus dana BLBI. Salah satu rekomendasi hukum yang
diberikan adalah dengan memastikan terdapat aktivitas pencucian uang, termasuk
yang telah berubah bentuk dan beralih ke pihak lain, atas dana BLBI yang
dikucurkan, yang berdampak pada kerugian negara. Selain itu, ia juga memberikan
rekomendasi kepada satgas BLBI untuk dapat memastikan bahwa aktivitas pencucian
uang tersebut terus bergulir sampai dengan saat ini.
Usai paparan, Direktur PKN Purnama T. Sianturi yang juga
menjabat sebagai Ketua Sekretariat Satgas BLBI memimpin jalannya diskusi yang berlangsung dengan dinamis dan mengalir. Pertanyaan-pertanyaan dari peserta dijawab secara komprehensif oleh kedua
narasumber sehingga peserta mendapatkan pengetahuan yang lebih lengkap mengenai
pencucian uang. FGD ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Moderator
dan diharapkan peserta FGD mendapatkan ilmu dan pengetahuan baru terkait
pencucian uang yang nantinya dapat diaplikasikan dalam menyelesaikan
permasalahan yang terkait dengan BLBI.