Jakarta
- Indonesia, secara geografis, merupakan salah satu negara kepulauan terbesar
di dunia. Panjang garis pantainya lebih dari 81.000 km dan memiliki lebih dari
17.504 pulau. Sedangkan luas laut kedaulatan meliputi 3,1 juta km2. Besarnya
potensi alam Indonesia itu, hingga saat ini belum tergambarkan dalam neraca
pemerintah. Di lain sisi, neraca Sumber Daya Alam (SDA) ini sangat penting sebagai
sumber informasi dalam pengambilan kebijakan di bidang pengelolaan SDA. Oleh
karena itu, saat ini pemerintah tengah merumuskan langkah terbaik untuk
menyajikan data yang komprehensif melalui penilaian Sumber Daya Alam. Hal ini
diungkapkan Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain saat webinar bertajuk
Peran Penilaian Sumber Daya Alam dalam Kebijakan Fiskal Pengelolaan SDA pada
Kamis (24/09).
Dalam
menyajikan data yang komprehensif ini, peran strategis penilai pemerintah pada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sangat diperlukan. “ Dalam hal ini, DJKN
menjadi supporting data berupa hasil
penilaian SDA pada neraca SDA,” kata Lukman.
Sementara
ini, ujar Lukman, DJKN telah berkontribusi menyajikan nilai wajar aset hulu
migas pada LKPP. Aset tersebut berupa tanah senilai Rp21,87 triliun (2015-2019)
dan aset non tanan yang terdiri dari Harta Benda Modal (HBM) sebesar Rp462,12
triliun, Harta Benda Inventaris (HBI) sebesar Rp0,11 triliun dan Material
Persediaan sebesar Rp25,32 triliun (LKPP 2019 Audited).
Selanjutnya,
DJKN akan melaksanakan penilaian tanah hulu migas dalam rangka perbaikan
catatan Off-Balance Sheet pada LKPP.
Selain itu, DJKN juga akan melaksanakan uji petik penilaian pada SDA lain untuk
data support Government Finance
Statistics (GFS) dan penilaian dalam rangka pemanfaatan BMN eks Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) terminasi.
Pada
kesempatan yang sama, Guru Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas
Ekonomi dan Manjemen IPB Akhmad Fauzi memberikan beberapa pertimbangan dalam rangka
memonetisasi aset SDA. Ia menyebutkan bahwa dalam menyajikan data SDA
diperlukan metode penilaian yang komprehensif seperti valuasi ekonomi. Pada
valuasi ekonomi, nilai kuantitatif pada SDA tidak hanya diukur berdasarkan ecosystem goods saja, tapi juga ecosystem services.
“Untuk
mengoptimalkan nilai ekonomi modal alam (natural
capital –red) dalam kebijakan fiskal memerlukan pemetaan valuasi SDA dan
ekosistem services yang komprehensif
untuk ekosistem utama,” jelas Akhmad.
Sementara
itu, Advisory Board Geothermal
Engineering ITB Ali Ashat mengapresiasi rencana DJKN dalam melakukan
penilaian SDA untuk disajikan pada neraca pemerintah. Ia mengatakan bahwa
valuasi sumber daya alam terutama yang tidak memilki harga pasar sangat
menantang sekaligus sangat penting dalam pembuatan kebijakan jangka panjang.
Dalam bidang geothermal, valuasi diharapkan dapat membantu Pemerintah dalam
mengatasi price gap antara PLN dan
pengembang sumber daya listrik geothermal. “Valuasi juga dapat menjadi solusi
jika terjadi perbedaan sudut pandang diantara kementerian,” katanya.
Kepala
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (PKAPBN) juga mengatakan
bahwa data SDA pada neraca sangat penting bagi pengelolaan Sumber Daya Alam di
Indonesia. Menurutnya Sumber Daya Alam menjadi sumber penting penerimaan negara
baik melalui pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Pengelolaan
SDA yang baik menjadi kunci untuk menopang pembangunan berkelanjutan,”
pungkasnya. (es/humasDJKN)