Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Berita DJKN
Sinergi BI dan Pemerintah, Sepakati Burden Sharing Guna Tangani Dampak Covid-19 di Indonesia
Esti Retnowati
Senin, 06 Juli 2020 pukul 21:10:18   |   4253 kali

Jakarta - Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) menetapkan mekanisme Burden Sharing dalam melaksanakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Sinergi Pemerintah dan BI ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua antara Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur BI dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktur Jenderal Penglolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dan Deputi Gubernur BI. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Press Statement secara virtual melalui kanal Youtube Kemenkeu RI pada Senin (6/7).


Menkeu menjelaskan bahwa dalam menghadapi pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah penanganan terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat yang mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha. Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional itu, Pemerintah telah meningkatkan APBN melalui Perpres 72 Tahun 2020, dari semula sebesar Rp307,22 triliun menjadi Rp1.039,22 triliun atau defisit sebesar 6,34% dari GDP (Produk Domestik Bruto).


Pemerintah, lanjutnya, memahami bahwa kenaikan defisit yang luar biasa meningkat akibat dampak Covid-19 dan penanganannya tentu menciptakan suatu tekanan yang sangat besar di dalam fiskal, di sisi lain kondisi market atau pasar surat berharga baik di global maupun domestik juga terkadang mengalami gejolak akibat adanya Covid-19 ini. “Oleh karena itu bersama-bersama dengan Bank Indonesia dan dukungan politik dari Presiden dan kabinet serta DPR menyepakati agar ada suatu mekanisme burden sharing yang dapat dipertanggungjawabkan secara baik, baik dari sisi kebijakan ekonomi makro-nya yaitu kebjakan fiskal moneter maupun dari sisi mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan melalui market dan acceptable secara politik,” ungkapnya.


Prinsip burden sharing yang dituangkan dalam SKB ini, ujar Menkeu, adalah tetap menjaga keberlangsungan fiskal, menjaga fiscal space dan sustainability dalam jangka menengah, menjaga kualitas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk belanja yang produktif dan mendukung penurunan defisit APBN secara bertahap menjadi di bawah 3% mulai tahun 2023. Selain itu, implementasi burden sharing juga dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali. “Dan seluruh burden sharing ini kita lakukan dengan memperhatikan kredibilitas dan integritas dari pengelolaan fiskal, moneter dan pengelolaan perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya. Pengaturan skema burden sharing dalam SKB Kedua ini hanya berlaku untuk pembiayaan APBN Tahun 2020.


Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan bahwa skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah. Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.


Untuk pembiayaan public goods, ujarnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate, dimana BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara penuh. Sementara itu, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%.


Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai SKB Pertama tanggal 16 April 2020.


Menkeu menegaskan bahwa langkah-langkah ini diambil akibat kondisi yangg extraordinary akibat adanya Covid-19. “Kami melakukannya secara hati-hati dengan tetap menjaga reputasi dari Bank Indonesia dan Kemenkeu sebagai penjaga kebijakan moneter dan fiskal yang prudent dan berhati-hati,” ungkapnya.


Hal yang Pemerintah lakukan saat ini, ujarnya, bukanlah sesuatu yang outlier atau exceptional. Banyak negara-negara di Dunia juga melakukan hal serupa, seperti Chili,  Kolombo, Hungaria, India, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand dan Turki.


“Untuk emerging market termasuk Indonesia, kita melakukannya secara hati-hati karena kami juga paham bahwa situasi yang dihadapi oleh emerging market berbeda dengan kondisi negara-negara yang sudah sangat maju seperti Amerika Serikat, Eropa, maupun Jepang. Namun kita tetap menjaga keseimbangan antara kondisi extraordinary yang membutuhkan langkah extraordinary dengan pragmatism dan kehati-hatian dalam rangka untuk menjaga keseluruhan kepentingan di dalam jangka pendek, menegah dan panjang,” pungkasnya. (es)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini