Jakarta
- Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) menetapkan mekanisme Burden Sharing dalam melaksanakan
penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Sinergi
Pemerintah dan BI ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua antara
Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur BI dan Perjanjian Kerja Sama (PKS)
antara Direktur Jenderal Penglolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan
dan Deputi Gubernur BI. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
saat Press Statement secara virtual
melalui kanal Youtube Kemenkeu RI
pada Senin (6/7).
Menkeu
menjelaskan bahwa dalam menghadapi pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan
langkah-langkah penanganan terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat yang
mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha.
Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi
nasional itu, Pemerintah telah meningkatkan APBN melalui Perpres 72 Tahun 2020,
dari semula sebesar Rp307,22 triliun menjadi Rp1.039,22 triliun atau defisit
sebesar 6,34% dari GDP (Produk Domestik Bruto).
Pemerintah,
lanjutnya, memahami bahwa kenaikan defisit yang luar biasa meningkat akibat dampak
Covid-19 dan penanganannya tentu menciptakan suatu tekanan yang sangat besar di
dalam fiskal, di sisi lain kondisi market atau pasar surat berharga baik di global
maupun domestik juga terkadang mengalami gejolak akibat adanya Covid-19 ini. “Oleh
karena itu bersama-bersama dengan Bank Indonesia dan dukungan politik dari
Presiden dan kabinet serta DPR menyepakati agar ada suatu mekanisme burden sharing yang dapat
dipertanggungjawabkan secara baik, baik dari sisi kebijakan ekonomi makro-nya
yaitu kebjakan fiskal moneter maupun dari sisi mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan
melalui market dan acceptable secara
politik,” ungkapnya.
Prinsip
burden sharing yang dituangkan dalam
SKB ini, ujar Menkeu, adalah tetap menjaga keberlangsungan fiskal, menjaga fiscal space dan sustainability dalam jangka menengah, menjaga kualitas defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk belanja yang
produktif dan mendukung penurunan defisit APBN secara bertahap menjadi di bawah
3% mulai tahun 2023. Selain itu, implementasi burden sharing juga dilakukan
dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan inflasi agar tetap
terkendali. “Dan seluruh burden sharing ini kita lakukan dengan memperhatikan
kredibilitas dan integritas dari pengelolaan fiskal, moneter dan pengelolaan
perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya. Pengaturan skema burden sharing dalam
SKB Kedua ini hanya berlaku untuk pembiayaan APBN Tahun 2020.
Lebih
lanjut, Menkeu menjelaskan bahwa skema burden
sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial,
serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah. Sedangkan
pembiayaan untuk non-public goods
yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari
pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), korporasi non-UMKM,
dan non-public goods lainnya.
Untuk
pembiayaan public goods, ujarnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI
melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon
sebesar BI reverse repo rate, dimana
BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara
penuh. Sementara itu, pembiayaan non-public
goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah
melalui penjualan SBN kepada market
dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse
repo rate 3 bulan dikurangi 1%.
Sementara
itu, untuk pembiayaan non-public goods
lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Dengan demikian, pembiayaan
non-public-goods tetap dilakukan
melalui mekanisme pasar (market mechanism)
dan BI bertindak sebagai standby buyer/last
resort sesuai SKB Pertama tanggal 16 April 2020.
Menkeu
menegaskan bahwa langkah-langkah ini diambil akibat kondisi yangg extraordinary akibat adanya Covid-19. “Kami
melakukannya secara hati-hati dengan tetap menjaga reputasi dari Bank Indonesia
dan Kemenkeu sebagai penjaga kebijakan moneter dan fiskal yang prudent dan berhati-hati,” ungkapnya.
Hal
yang Pemerintah lakukan saat ini, ujarnya, bukanlah sesuatu yang outlier atau exceptional. Banyak negara-negara di Dunia juga melakukan hal
serupa, seperti Chili, Kolombo,
Hungaria, India, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan,
Thailand dan Turki.
“Untuk emerging market termasuk Indonesia, kita melakukannya secara hati-hati karena kami juga paham bahwa situasi yang dihadapi oleh emerging market berbeda dengan kondisi negara-negara yang sudah sangat maju seperti Amerika Serikat, Eropa, maupun Jepang. Namun kita tetap menjaga keseimbangan antara kondisi extraordinary yang membutuhkan langkah extraordinary dengan pragmatism dan kehati-hatian dalam rangka untuk menjaga keseluruhan kepentingan di dalam jangka pendek, menegah dan panjang,” pungkasnya. (es)