Jakarta – DJKN saat ini sedang mengupayakan penyederhanaan peraturan dan proses bisnis tata kelola BMN Hulu Minyak dan gas agar lebih cepat namun tetap mempertimbangkan kemungkinan munculnya moral hazard. Simplifikasi tata kelola ini mencakup pelaksanaan proses pengelolaan, penilain, lelang, sertifikasi, pengawasan dan pengendalian BMN hulu migas.
Salah satu alasan atas rencana
simplifikasi langkah-langkah tata kelola BMN ini yakni untuk menghadapi banyaknya
Kontrak Kerja Sama hulu migas yang akan terminasi beberapa tahun yang
akan datang. Hal ini diungkapkan Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara dan Lain-lain Dodi
Iskandar pada Focus Group Discussion pada Jumat (31/1) di aula Kantor Wilayah
DJKN DKI Jakarta.
Secara
aturan, tambahnya, BMN eks terminasi akan digunakan oleh Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) selanjutnya, menggantikan kontraktor yang telah berakhir masa
kontak kerja samanya. “Akan tetapi, jika aset eks terminasi tersebut tidak dipakai
semua atau tidak lagi menghasilkan minyak dan gas, maka harus dikembalikan ke
Negara,” ujarnya.
Negara
dalam hal ini, lanjut Dodi, adalah Pusat Pengelolaan Barang Milik Negara
(PPBMN) Kementerian ESDM sebagai kuasa pengguna barang. Kemudian kuasa pengguna
barang menyerahkan BMN tersebut kepada DJKN sebagai pengelola barang. “Oleh
karena (BMN ini) cukup banyak, DJKN akan membuat satu unit untuk mengelola BMN
hulu migas ini sehingga dapat digunakan secara optimal,” ungkapnya.
Dalam
hal mempercepat proses bisnis pengelolaan BMN ini, ia menyoroti beberapa hal
yang perlu dipersiapkan, yakni mengondisikan peraturan dan Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang mendasari tata kelola BMN hulu migas, baik SOP pengelolaan,
penilaian maupun lelang. Selain itu, DJKN juga akan bersinergi dengan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendata aset yang dibeli oleh pihak
KKKS.
Terkait
peraturan dan SOP mengenai penilaianBMN hulu migas yang termaktub dalam PMK 89
tahun 2019, Kepala Bidang Penilaian Kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara
Wahyu Purnomo mengatakan bahwa dalam prakteknya, terdapat beberapa kendala yang
menyertai. Salah satunya adalah batas norma waktu yang cukup ketat dalam
pelaksanaan penilaian dalam rangka penjualan melalui lelang dan pemanfaatan
dalam bentuk sewa.
Selain
peran penilai dalam hal penjualan melalui lelang dan sewa, Kepala Seksi
Kekayaan Negara Lain-lain IIID Dwi Cahyono menambahkan bahwa setidaknya terdapat
6 peran penilaian lainnya berdasarkan
PMK 89 tahun 2019. Peran tersebut yakni terkait transfer, pemanfaatan BMN eks
terminasi, pemindahan kepemilikan (transfer
of title), beli balik (buy back),
tukar menukar, dan penyusunan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat). “Saat
ini, proses penilaian lebih banyak dilakukan pada 3 hal yakni pemanfaatan
melalui sewa, penjualan melalui lelang, dan penyusunan LKPP,” ujarnya.
Sedangkan
kendala efisiensi pada pelaksanaan lelang BMN hulu migas yang perlu
diperhatikan seperti norma waktu pengajuan lelang yang dilakukan pemohon dalam
hal ini Kementerian ESDM, serah terima BMN hulu migas kepada pembeli lelang,
persetujuan penjualan, dan pelaksanaan aanwijzing.
Kepala
Bidang PKN Kanwil DJKN Riau, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau Indriasari
Sundoro menjelaskan bahwa selain dilaksanakan penilaian dan lelang, BMN hulu
migas juga wajib disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q.
Kementerian Keuangan. Saat ini tercatat total BMN tanah pada LKPP/LKBUN
sebanyak 15.338 line seluas 418 ribu Ha, tersebar pada 83 KKKS di seluruh
wilayah Indonesia.
Lebih
lanjut, Indri mengungkapkan bahwa sebanyak 444 line seluas 5 ribu Ha telah
disertifikatkan. Sedangkan sebanyak 5.057 line seluas 19 ribu Ha saat ini masih
dalam proses sertifikasi. “Sisanya belum diproses,” ujarnya.
Terkait pelaksanaan sertifikasi ini, lanjut Indri, merupakan bagian dari upaya optimalisasi pengelolaan BMN hulu migas oleh DJKN. Pihak potensial yang sangat berperan di dalamnya adalah Kantor Vertikal DJKN. Kantor vertikal DJKN berperan dalam pengurusan sertifikasi BMN hulu migas terutama untuk BMN tanah yang diserahkan kepada DJKN. Selain itu, kantor vertikal DJKN juga memiliki kewajiban melakukan pemantauan pengamanan BMN tanah pada KKKS, khususnya pemantauan pengurusan sertifikasi sebagaimana diamanatkan dalam PMK 89 tahun 2019. “Pada prosesnya (sertifikasi BMN) diperlukan adanya koordinasi dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional –red) atau kantor pertanahan setempat,” pungkasnya. (fira/abid)