Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Pendirian Lembaga
Pembiayaan Pembangunan Indonesia Sebagai Bank Pembangunan Indonesia di Jakarta
pada Kamis (15/11).
Dalam seminar ini, narasumber yang
terdiri dari Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata, Anggota
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Kepala Biro Hukum
Kementerian Perindustrian Eko S.A. Cahyanto, Guru Besar Universitas Gajah Mada
(UGM) Danang Parikesit, Direktur Utama PT. Sarana Multi Infrastruktur Emma Sri Martini,
serta Facility Director Japan International Cooperation Agency (JICA) Eiji Koga
memaparkan pandangannya terkait pentingnya pembentukan sebuah Development Financial Institusions (DFI)
untuk menjawab tantangan pembangunan di Indonesia yang dalam diskusi biasa
disebut dengan Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia (LPPI).
Mengawali
diskusi, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memberikan pengantar bahwa Indonesia
pernah memiliki lembaga yang memiliki fungsi serupa LPPI yaitu Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo), namun tidak berhasil menjalankan tugasnya karena mismatch dengan kebutuhan pembangunan
yang jangka panjang. “Pendanaan pada saat itu masih bersifat jangka pendek, underlying-nya masih belum kuat dan pengelolaannya
masih menggunakan mindset yang
konvensional,” ujarnya.
Agar
hal yang sama tidak berulang, Mardiasmo menegaskan bahwa LPPI yang nantinya
akan dibentuk harus sesuai dengan visi Indonesia pada 30 – 40 tahun mendatang. “Harapan
kami, banyak terobosan, banyak pikiran yang cerdas, untuk bisa sekaligus
menghubungkan kondisi yang ada saat ini dengan tantangan – tantangan di masa
depan,” pesannya.
Selanjutnya,
Dirjen KN memaparkan bahwa Indonesia masih perlu meningkatkan daya saingnya di
antara negara – negara di dunia, meningkatkan efisiensi dan efektifitas logistik,
serta meningkatkan kontribusi industri terhadap Gross Domestic Product (GDP) dimana jika dilakukan hanya dengan mengandalkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka perlu berbagi dengan mandatory expenditure yang ditetapkan melalui
undang – undang. Dengan demikian perlu adanya suatu lembaga yang mempu
memultifikasi atau me-leverage dana
yang dikeluarkan dari APBN agar memberikan dampak yang lebih besar.
“Kita
sudah punya PT SMI (yang menjadi katalis dalam pembangunan infrastruktur -red),
namun bagaimana dengan sektor – sektor lainnya (selain infrastruktur -red), apakah
kita ingin membangun untuk tiap – tiap sektor tersebut lembaga seperti PT SMI?”
tanya Dirjen KN.
Sejalan
dengan Dirjen KN, Kepala Biro Hukum Kementerian Perindustrian Eko menyampaikan
bahwa hasil kajian Kementerian Perindustrian dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa seluruh sektor industri
membutuhkan lembaga keuangan yang mampu memberikan pembiayaan jangka panjang
dengan cost of fund yang rendah untuk
lebih berkembang. “Pasar domestik sedemikian besar sehingga dan porsi industri
dalam negeri masih kecil,” ucap Eko memberikan gambaran.
Kemudian
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas mengungkapkan bahwa pembentukan LPPI diharapkan
mampu menjawab tantangan pembangunan yaitu karakteristik proyek yang capital intensive, long payback period, low
return, serta kebutuhan cost of fund yang
rendah. Selain itu beberapa undang – undang juga mengamanatkan pembentukan lembaga
pembiayaan. Sementara itu, Guru Besar UGM Danang Parikesit menyampaikan wacana
bahwa LPPI dapat berupa sebuah development
financing group dengan beberapa lembaga dibawahnya dengan fokus tertentu.
Direktur
Utama PT SMI Emma yang dalam seminar tersebut diminta memaparkan kinerja PT SMI
sebagai katalis percepatan pembangunan infrastruktur menyampaikan bahwa pada
prinsipnya PT SMI telah berfungsi layaknya DFI/LPPI, namun terdapat beberapa
tantangan yang dihadapi oleh PT SMI karena statusnya yang merupakan BUMN
dibawah Kementerian Keuangan, diantaranya adalah motif mencari keuntungan yang diamanatkan
Undang Undang Perseroan Terbatas, batasan ruang lingkup pada sektor
infrastruktur, serta keterbatasan akses terhadap dana perwalian. “PT SMI sebagai
BUMN pastinya dituntut untuk profit,” ujarnya.
Melanjutkan
penjelasannya, Emma menyampaikan bahwa jika PT SMI hendak ditransformasikan
menjadi LPPI maka PT SMI sudah memiliki 3 modal utama yaitu aset senilai Rp58,2
triliun, sumber daya manusia yang sudah berpengalaman menjalankan fungsi DFI,
serta rekam jejak yang baik.
Diakhir sesi, Facility Director JICA Eiji Koga menyampaikan bahwa lembaga seperti LPPI merupakan lembaga yang paling umum dan paling penting dalam keuangan publik. “Development bank is the most conventional and important public financial institution,” pungkasnya.
Peserta seminar maupun pemerhati pembiayaan pembangunan dapat mengunduh bahan seminar dengan tautan di https://bit.ly/seminarLPPI.
(Humas DJKN)