Jakarta - Direktur
Jenderal Kekayaan Negara Sonny Loho berkesempatan menyampaikan paparan pada gelaran Rapat Kerja
Nasional DJKN Semester I 2017 pada Senin, 15 Mei 2017 di Aula Mezzanine, Gedung Juanda I, Komplek Kementerian Keuangan, Jakarta.
Mengawali sesinya, Sonny menyampaikan profil aset yang dikelola DJKN. Disampaikannya, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016 unaudited, nilai aset yang berada di Pengguna Barang yakni Kementerian/Lembaga (K/L) mencapai Rp1.857,03 triliun dan yang berada di Pengelola Barang yakni Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp342,40 triliun.
Dijelaskan Sonny, aset BUN berasal dari eks Kontrak Kontraktor
Kerjasama (KKKS), eks Perjanjian Karya Pengusaha Batu Bara (PKP2B), Eks
Pertamina, Eks PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA),
Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), BMN Idle, Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa (ABMA/T) dan Aset Lain-lain.
Dari pengelolaan aset dimaksud DJKN menghasilkan penerimaan negara (cash) dan penghematan biaya non cash/cost saving. Cash berasal dari Pemindahtanganan dan Pemanfaatan aset serta Pendapatan dari BLU pengelolaan wilayah/kawasan tertentu (Otorita Batam, PPK Kemayoran, PPK GBK, Otorita Sabang). Sementara non cash berasal dari penetapan status penggunaaan (PSP). Menurut catatan, kurun satu dekade ini DJKN telah menghasilkan Rp20,7 triliun baik cash maupun non cash dari hasil pengelolaan aset negara.
Menurut
Sonny masih banyak aset di K/L yang belum dioptimalkan, padahal potensinya luar
biasa besar. Lihat saja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Kementerian Pertahananan/TNI atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
tambahnya. “DJKN sebenarnya raksasa pengelola aset. Jika kita
dapat menunjukkan bahwa DJKN memang benar-benar raksasa, ini merupakan prestasi kita bersama,”
tuturnya memotivasi. Untuk itu perlu bagi DJKN melakukan benchmarking sebanyak-banyaknya
terkait pengelolaan aset negara. “Jika perlu ke luar negeri. Contohlah negara Perancis, aset-aset bekas kerajaan dapat dimanfaatkan untuk wisata dan menghasilkan pendapatan. Lalu bagaimana
dengan aset-aset bersejarah kita? Gedung Gubernur Dandels di Komplek Kementerian Keuangan
misalnya.” tandas Sonny.
Pada
kesempatan tersebut Sonny Loho juga menjelaskan terkait transformasi kebijakan pengelolaan
aset di DJKN yang terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah peningkatan akuntabilitas (2006 s.d. 2012) dengan
sasaran peningkatan kualitas penyajian aset pada LKPP. Adapun
strateginya adalah inventarisasi dan penilaian BMN K/L, tindak lanjut temuan
BPK, perbaikan proses bisnis pengelolaan aset, penggunaan aset sebagai underlying asset SBSN/SUKUK dan sertifikasi
BMN.
Sementara di tahap kedua adalah penguatan tata kelola
(2013 s.d. 2016) dengan sasaran
terwujudnya tertib administrasi, fisik, dan
hukum (3T). Strategi yang digunakan diantaranya
digitalisasi pengelolaan aset, inisiasi penyusunan RUU Pengelolaan
Kekayaan Negara, penyusunan regulasi pengelolaan aset BUN, inventarisasi dan penilaian
aset BUN, integrasi perencanaan dan penganggaran kebutuhan BMN, pengawasan dan pengendalian
pengelolaan BMN, pembentukan LMAN, penguatan regulasi pengelolaan BMN dan pendelegasian
sebagian kewenangan pengelolaan BMN kepada K/L.
Di tahap ketiga adalah evaluasi portofolio & optimalisasi
aset (2017 s.d. 2019). Sasarannya peningkatan manfaat ekonomi pengelolaan aset
(PNBP dan Cost Saving). Strategi
pendukungnya yakni penyempurnaan (relaksasi) regulasi pengelolaan aset, optimalisasi
pengelolaan aset BUN, integrasi data BMN
(SKK Migas, Kementerian ESDM, dan DJKN), penerapan kebijakan pengenaan sewa
terhadap pemakaian BMN eks KKKS oleh KKKS Gross Split, pemenuhan kebutuhan
tanah dan bangunan K/L melalui optimalisasi aset BUN, partisipasi swasta melalui
kerjasama pemanfaatan aset serta investarisasi dan revaluasi BMN Idle.
Sharing Session
Di
sesi berikutnya dilangsungkan sharing
session dan diskusi dengan narasumber Direktur Lelang Lukman Effendi dan Direktur
Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain (PNKNL) Purnama T. Sianturi dengan
moderator Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat Hady Purnomo.
Dalam
salah satu paparannya, Lukman menyatakan pentingnya koordinasi dengan berbagai
pihak yang terkait dengan lelang, termasuk kepada pemohon lelang. Pihaknya
menginginkan keterlibatan pemohon lelang pada tahap pra lelang. Ia minta pemohon lelang menyiapkan
berkas selengkap dan sebenar mungkin. “Dengan demikian beban yang selama ini berada di DJKN sedikit banyak akan tereduksi sehingga layanan kita ke depan makin
baik” tutur Lukman. Guna mendukung hal tersebut Lukman dan jajarannya bekerja sama
dengan Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi akan
membuatkan sebuah aplikasi permohonan lelang online. Dengan cara ini mau tidak mau pemohon akan mempersiapkan
kelengkapan berkasnya dengan baik. “Tanpa melalui tahap itu mereka tidak akan
mendapatkan tiket sebagai syarat dapat mengajukan lelang ke KPKNL.” jelasnya lagi.
Sementara itu Purnama
T. Sianturi banyak membahas terkait pengurusan piutang negara. Kali ini ia meminta para pimpinan unit vertikal DJKN agar mencermati
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara untuk mengoptimalkan
penyelesaian Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN). Menurutnya, sekitar 75% BKPN yang diurus DJKN nilainya di bawah Rp8 juta dan sampai dengan Rp25 juta namun usia piutang lebih dari 10 tahun. Piutang negara semacam itu potensial dapat
segera diselesaikan. “Saya berharap selama 7 bulan ke depan kita dapat
mengurangi jumlah BKPN dengan memanfaatkan ruang yang disediakan dalam ketentuan
dimaksud.” pintanya. Purnama juga mengapresiasi capaian pengurusan piutang
Negara di berbagai unit vertikal DJKN. (Humas DJKN)