Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Sutopo Purwo Nugroho : Perlu Dilakukan Analisis Risiko Terhadap Seluruh Infrastruktur Aset Negara
N/a
Rabu, 21 Oktober 2009 pukul 08:49:02   |   2510 kali

Sutopo Purwo Nugroho : Perlu Dilakukan Analisis Risiko Terhadap Seluruh Infrastruktur Aset Negara
(Warta Pengawasan Vol XVI/2/Juni 2009)

Salah satu pihak yang intensif mencermati bencana Situgintung adalah Sutopo Purwo Nugroho. Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini menilai bahwa tidak hanya bendungan, tetapi terhadap seluruh aset infrastruktur negara harus dilakukan analisis risiko.

Hal ini untuk memitigasi risiko atau mengurangi kerugian negara jika bencana harus terjadi. Hal ini disampaikan dalam bincang-bincangnya dengan Warta Pengawasan.

(WP)Warta Pengawasan : Bagaimana pandangan Bapak tentang Bencana Situgintung ?

Sutopo (S) : Saat ini masih terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan aset negara, khususnya Situ. Pemerintah Daerah merasa wilayah situ merupakan kewenangannya jika terkait dengan potensi wisata. Di sisi lain, badan air dan infrastruktur bendungan menjadi kewenangan Departemen Pekerjaan Umum. Terkait dengan Situ Gintung, memang masih ada kelemahan pada operasional dan pemeliharaan bendungan. Mungkin terkait dengan keterbatasan anggaran.

Sebenarnya sejak Februari 2007, masyarakat setempat sudah melaporkan adanya kerusakan situ kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang. Namun laporan masyarakat ini terhambat oleh birokrasi yang rumit untuk sampai kepada pihak yang berhak menindaklanjuti. Tampaknya, mekanisme pengaduan masyarakat ini sulit dipahami oleh masyarakat. Seharusnya setiap pengaduan masyarakat harus ada tanggapan yang cepat. Pada Standar Operasi Prosedur (SOP) Bendungan disebutkan bahwa jika ada retakan sedikitpun harus segera ditutup.

(WP) Bagaimana dengan manajemen risikonya ?

(S) : Kita memang belum banyak melakukan analisis risiko bencana. Analisis risiko bencana adalah perpaduan integrasi antara faktor bahaya (potensi bencana), dikalikan dengan aspek kerentanan, seperti kepadatan penduduk, ekonomi dan sebagainya. Ketika dikalikan, timbul analisis risiko. Dari perhitungan tersebut kita dapat mengetahui, berapa potensi kerugian yang timbul jika terjadi bencana.

Seharusnya analisis risiko ini dilakukan terhadap seluruh infrastruktur yang ada. Hal ini untuk dapat dilakukan upaya-upaya mitigasinya. Hasil analisis risiko ini harus dikomunikasikan kepada Pemerintah Daerah sebagai bahan untuk mengeluarkan kebijakan antara lain tentang tata ruang.

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana, oleh karena itu seluruh aset yang dimiliki harus dilakukan analisis risiko. Sebagai contoh, saat ini banjir di seluruh Indonesia, rata-rata merugikan negara sebesar Rp 70 trilliun per tahun. Negara sudah susah-susah membangun, masyarakat sudah menabung dan kaya, bisa jadi miskin seketika karena kita tidak melakukan upaya mitigasi yang tepat. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Sumatra dan Pantai Selatan Jawa punya risiko terkena tsunami. Jalur kereta api di utara Pulau Jawa punya risiko terkena rob. Bisa dibayangkan potensi kerugian jika kita tidak mengantisipasinya secara tepat.

(WP) : Instansi mana yang relevan melakukan itu ?

(S) : Mestinya instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas infrastruktur tersebut. Namun Pemerintah Daerah harus dilibatkan supaya ada tindak lanjutnya yaitu menjadi bahan bagi pengambilan kebijakan daerah seperti tata ruang.

(WP) : Apakah hal ini bukan karena proses monitoring dan evaluasi pengelolaan bendungan yang tidak berjalan ?

(S) : Sebenarnya saat ini sudah ada Komite Keamanan Bendungan yang terdiri dari berbagai pakar. Komite ini bertugas melakukan evaluasi terhadap keamanan bendungan. Termasuk jika ada rencana pembangunan bendungan, komite ini melakukan evaluasi terhadap aspek keamanannya. Masalahnya, Komite ini hanya konsentrasi pada bendungan-bendungan yang besar. Situ tidak masuk ke dalam itu karena volumenya kecil. Asumsinya, yang kecil-kecil sudah ditangani oleh instansi masing-masing .

Komite ini umumnya melakukan Dump Break Analysis yaitu melakukan skenario jika bendungan besar, seperti Cirata atau Jatiluhur ini jebol, apa yang akan terjadi ? ini sudah dilakukan. Namun apakah hasil analisis digunakan untuk kebijakan tata ruang atau tidak, ini yang tidak diketahui oleh Komite. Hanya kalau lihat kondisi di lapangan, tampaknya hal itu tidak dilakukan.

(*Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT)

Sumber: http://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=1235

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini