Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Orang Tua adalah Guru Pertama bagi Anak-Anaknya
Mahmud Ashari
Minggu, 02 Mei 2021 pukul 21:44:44   |   7919 kali

Jika kita tengok kalender, tidak terasa sudah setahun lebih dunia diselimuti pandemi Covid-19. Wabah yang menyerang dan menghantui seluruh sendi-sendi kehidupan manusia di planet biru tersebut nyaris memporak-porandakan konstelasi dan ritme aktivitas sehari-hari. Tak terkecuali dunia pendidikan, yang sejak zaman nenek moyang identik dengan pertemuan antara guru dengan murid. Dunia pendidikan yang kita kenal terjadi interaksi langsung, percakapan langsung, dan tatapan mata langsung tanpa media selain udara.

Setahun lebih sudah anak-anak kita harus beradaptasi dengan aktivitas kegiatan belajar melalui daring. Beberapa waktu yang lalu memang sudah dibuka koridor untuk belajar secara langsung. Namun, seiring dengan lonjakan penularan Covid-19 berskala lokal di beberapa wilayah, kegiatan belajar tersebut kembali dilaksanakan secara daring, atau maksimal dengan mekanisme mixed, sekian hari belajar via daring, sekian hari belajar dengan tatap muka.

Tidak dipungkiri perubahan itu membawa dampak kepada perilaku dan habit pembelajaran bagi anak-anak usia sekolah. Tanpa pernah direncanakan, tiba-tiba mereka harus menjalankan sistem homeschooling. Tidak sedikit yang kelabakan bahkan panik. Selama ini banyak orang yang berpikir bahwa mendidik anak itu identik dengan mengirim anak ke sekolah. Dengan mengirim anak ke sekolah, tugas orang tua dalam mendidik anak dianggap selesai. Jika dalam menerima materi pelajaran di sekolah ternyata si anak kurang memahami, solusi tambahan yang dicari orang tua adalah melalui bimbingan belajar atau guru les.

Fenomena ini, dimana para orang tua tidak ingin terlibat dalam proses belajar anak-anak mereka, acap ditemui di komunitas kita. Banyak orang tua yang merasakan bahwa belajar, apalagi mengajar itu sebagai siksaan. Belajar adalah pengalaman yang tidak ingin mereka ulangi lagi. Paradigma bahwa orang tua sudah sekian tahun lulus dari sekolah diartikan bahwa mereka sudah boleh berhenti belajar. Dampaknya, ketika anak-anak butuh pendampingan saat belajar, mereka tidak sanggup atau bahkan enggan untuk mendampingi. Alasannya bermacam-macam, ada yang beralasan karena sudah tidak ingat materinya, ada yang beralasan kurikulumnya sudah berubah, bahkan ada yang beralasan bahwa dahulu juga mereka tidak memahami materi itu.

Jika kita berbicara tentang konteks ideal, seharusnya orang tua menempatkan diri sebagai guru bagi anak-anaknya, mendampingi mereka belajar, menjelaskan materi yang mereka tidak paham agar menjadi terang benderang. Namun kenyataan di lapangan jauh panggang dari api, banyak orang tua yang tidak sanggup atau malah enggan mendampingi anak-anaknya, seperti alasan di uraian sebelumnya. Jikapun ada yang mendampingi, orang tua cenderung tidak sabaran, jadi daripada mereka mendampingi untuk menjelaskan materi dari A-Z, mereka memilih langkah yang lebih praktis, seluruh tugas (PR) dari sekolah dibantu (baca: dikerjakan) oleh orang tua. Tujuannya? Agar cepat selesai, atau biar nilai anaknya bagus.

Ini merupakan hal yang salah kaprah. Menjadi guru bagi anak-anak seharusnya diartikan sebagai mentor dalam proses belajar anak-anak. Pada hakikatnya, mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua, sedangkan sekolah adalah institusi yang membantu para orang tua dalam mendidik anak. Jadi jangan sampai terbalik, seolah semua urusan pendidikan anak sudah beres dengan menyerahkannya ke sekolah.

Idealnya, orang tua seharusnya juga memahami isi kurikulum pendidikan anak-anak mereka dan berperan memastikan anak-anaknya belajar sesuai muatan kurikulum tersebut. Tahap berikutnya yaitu memahami materi pelajaran anak. Jangan malas untuk membuka buku-buku pelajaran anak kita, jika perlu tambahkan dengan menonton tutorial dari youtube, atau aplikasi-aplikasi tambahan yang sekarang banyak bertebaran di appstore/playstore. Rangkum dan racik materi tersebut ke dalam format yang mudah dipahami oleh anak kita. Itu kuncinya.

Namun fakta di lapangan, penulis menemukan masih ada orang tua yang mengeluh dan mengatakan bahwa hal demikian adalah sesuatu yang sulit karena mengharuskan mereka untuk belajar kembali. Padahal, hakikat menjadi orang tua memang menuntut kita untuk belajar dan terus belajar. Ketika anak masih dalam kandungan, kita harus belajar bagaimana treatment terhadap kandungan, apa saja asupan untuk ibunya, apa saja perkembangan yang harus diperhatikan agar janin tumbuh sehat. Ketika anak sudah terlahir, pembelajaran dilanjutkan dengan bagaimana merawat bayi, belajar tentang proses tumbuh kembangnya. Semua itu merupakan kondisi yang mengharuskan kita untuk terus belajar dan proses itu tidak akan berhenti sampai ke liang kubur.

Demikian halnya dengan mendidik anak. Kembali kita dituntut untuk terus belajar. Ketika anak-anak kita mulai bersekolah, mau tidak mau kita harus mengikuti kembali materi pelajaran yang mereka pelajari. Tidak hanya itu, kitapun harus belajar bagaimana mengajarkannya.

Setahun lebih sudah pandemi ini meneror dunia, perubahan habit yang diakibatkannya merupakan momen yang tepat bagi kita untuk menyadari kembali peran sebagai orang tua. Momen ini merupakan kesempatan kita untuk mengoreksi berbagai kelalaian kita selama ini dalam mendidik anak. Ingatlah pesan Ki Hajar Dewantoro, “Jadikan semua tempat adalah sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru”. Rumah adalah sekolah pertama anak-anak kita, sekolah yang ilmunya tidak lekang dimakan waktu. Dan kita, para orang tua, adalah guru pertama anak-anak kita, guru yang mendidik kurikulum maupun arti kehidupan bagi anak-anak kita. Jadi, jangan pernah berhenti untuk belajar dan jangan berhenti untuk mengajarkan pendidikan kepada anak-anak kita.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2021.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini