Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Enterpreneurship Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara
Dedy Sasongko
Rabu, 18 Maret 2020 pukul 15:35:26   |   948 kali



Penulis : Darnadi

Kepala Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara Kanwil DJKN Kalbar

Tuntutan akan tatakelola pemerintahan yang baik (good public governance) akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya tuntutan akan pelayanan publik. Salah satu bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik adalah pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang efisien dan berorientasi pada pelayanan publik dan kemakmuran rakyat.


Penggunaan dan Pemanfaatan

Reformasi Pengelolaan BMN dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Berdasarkan PP tersebut pemerintah telah menerbitkan serangkaian kebijakan mulai dari penertiban BMN, Inventarisasi dan Penilaian BMN hingga pemanfaatan BMN. Dari hasil implementasi kebijakan tersebut, penggunaan BMN secara umum dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu BMN yang digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi, BMN yang sebagian digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi dan BMN yang tidak digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi (idle).


BMN yang sebagian digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi serta BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi merupakan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini belum optimal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara pemerintah telah membuka peluang kerjasama dengan pihak swasta dalam rangka pemanfaatan BMN. Berdasarkan PMK tersebut BMN dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui penyewaan BMN, Kerjasama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah (BGS) maupun Bangun Serah Guna (BSG).


PNBP dari Pemanfatan Aset

Melalui PMK tersebut pemerintah mendorong aparatur negara baik sipil maupun militer untuk merubah paradigma dalam pengelolaan BMN. Aparatur negara dituntut tidak hanya berpikir bagaimana cara membelanjakan uang negara tetapi juga dituntut untuk berpikir bagaimana menghasilkan penerimaan negara. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh potensi PNBP dari pemanfaatan BMN yang masih besar. Data penerimaan negara dari PNBP pengelonaan BMN 3 tahun terakhir, menunjukan peningkatan yang cukup sigifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 sebesar Rp266,2 miliar, tahun 2018 sebesar Rp339,6 miliar dan tahun 2019 sebesar Rp551, 2 miliar. Angka tersebut memang masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan nilai BMN hasil revaluasi tahun 2017/2018 yang sebesar Rp5.000 triliun. Hal tersebut justru menjadi tantangan seluruh aparatur negara untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset dalam rangka meningkatkan PNBP.


Rendahnya PNBP pemanfaatan BMN antara lain disebabkan aparatur negara masih berpikir BMN hanya merupakan sarana untuk melaksanakan tugas dan bukan merupakan potensi sumber penerimaan negara dan kurangnya pengetahuan tentang aturan BMN. Akibatnya banyak tanah BMN yang terletak di lokasi strategis tetapi terlantar, gedung pemerintah yang dibangun dengan anggaran yang besar tetapi hanya digunakan beberapa kali dalam setahun, asrama milik pemerintah yang lebih sering kosong, lahan sepanjang jalan negara ataupun di sepanjang jalur rel kereta api yang dimanfaatkan pihak lain. Bahkan sering kita jumpai lokasi konservasi/penelitian dan pengembangan milik pemerintah yang mempunyai nilai jual wisata sangat tinggi kurang terawat dan belum menghasilkan PNBP. BMN yang “tertidur” seperti ini bukan saja tidak optimal tetapi juga menjadi beban bagi negara karena negara harus mengeluarkan anggaran diantaranya untuk pengamanan dan pemeliharaan.


Entrepreneurship dalam Pengelolaan BMN

Untuk merubah kondisi tersebut maka diperlukan perubahan paradigma berpikir aparatur negara terhadap BMN. Diperlukan entrepreneurship aparatur negara untuk mendongkrak penerimaan PNBP dari pemanfaatan BMN. Entrerpreneurship dalam pengelolaan BMN tidak terbatas pada bagaimana BMN dapat menghasilkan pendapatan bagi negara, tetapi juga bagaimana efektifitas dan efisiensi penggunaan BMN untuk mendorong efisiensi/penghematan anggaran negara. Salah satu contoh nyata yang kita jumpai sehari hari diantaranya adalah masih adanya luas ruang kerja yang “boros” dan tidak customer oriented. Hal ini meningkatkan beban operasional dan pemeliharaan. Dengan kemajuan teknologi yang telah canggih maka open space office menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari.


Penyempurnaan regulasi pemanfataan BMN untuk menghasilkan PNBP harus diikuti dengan perubahan mindset aparatur negara sebagai pengguna dan pengelola BMN. Kemampuan untuk melihat peluang pemanfaatan BMN harus terus diasah. Aparatur negara dituntut untuk menjadi birokrat wirausaha (Entrepeneur Beaurocrat) yang selain berorientasi pada peningkatan pelayanan juga berorientasi pada pendapatan negara. Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut maka peningkatan integritas harus ditingkatkan. Pemanfaatan asset negara bukan tidak mengandung risiko integritas, meningkatnya interaksi antara aparatur negara dengan pengusaha/mitra dalam pengelolaan BMN merupakan titik rawan terjadinya kolusi korupsi dan nepotisme (KKN). Benturan kepentingan tidak hanya terjadi dalam pengadaan BMN tetapi juga dalam pemanfaatan BMN. Hal tersebut tentunya harus menjadi perhatian bersama. Untuk menuju Entrepreneur Beaurocracy dalam pengelolaan BMN, perlu mengadopsi cara- cara korporasi dalam mengelola aset sehingga kedepan tidak akan ada lagi asset negara yang tidak produktif, underutilized atau bahkan idle.


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini