Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Nilai Wajar Kompetitif Untuk Membangun Tata Kelola Manajemen Pemerintah Berkelanjutan
Ali Sodikin
Kamis, 06 Februari 2020 pukul 17:04:07   |   645 kali
Seiring dengan banyaknya permohonan pengelolaan kekayaan negara dari satuan kerja (satker) antara lain pemanfaatan maupun pemindahtanganan yang selanjutnya dimintakan penilaian atas Barang Milik Negara (BMN), membuat pelayanan penilaian menjadi sasaran strategis sebagai pemberi masukan untuk dasar pengambilan keputusan. Pengalaman menjadi Kepala Seksi Pelayanan Penilaian selama kurang lebih tujuh tahun membuat terlintas suatu ide pemikiran untuk menghasilkan nilai wajar kompetitif. Nilai wajar kompetitif yang dimaksud disini adalah nilai wajar yang mampu bersaing, memiliki keunggulan kompetitif yaitu harga yang rendah dan keunikan dari produk itu sendiri baik itu untuk nilai wajar atas sewa maupun nilai wajar itu sendiri. Adapun definisi nilai wajar sesuai Peratuan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 111/PMK.06/2017 tentang Penilaian Barang Milik Negara adalah estimasi yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian. Sedangkan nilai wajar atas sewa adalah estimasi jumlah uang yang akan diterima dari penyewaan suatu aset antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi sewa yang wajar pada tanggal penilaian. Kedua definisi nilai wajar tersebut tidak dapat dipisahkan konteksnya dengan BMN karena PMK tersebut memang secara khusus mengatur Penilaian BMN. Barang Milik Negara terdiri dari barang yang dibeli atau diperoleh atas Beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Jadi aset yang dimiliki pemerintah (BMN) itu sangat unik, spesifik dan terbatas. BMN sebagai aset pemerintah yang didanai dengan APBN atau perolehan lainnya yang sah banyak sekali aturan-aturan yang mengikatnya. Oleh karena itu, bisa dinyatakan bahwa BMN adalah aset yang tidak fleksibel baik dari segi dana maupun pengelolaannya. Akibatnya, BMN akan terlihat sebagai aset yang biasa saja dan tidak istimewa karena keterbatasan dana yang ada untuk pemeliharaan dan/atau pengadaannya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan aset milik swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dapat dikelola dengan unlimited dan maksimal. Kesenjangan antara BMN dengan aset milik swasta dan/atau BUMN dari sudut pandang seorang Penilai tidak bisa diabaikan begitu saja. Kemampuan BMN menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan sangat berbeda dengan aset swasta atau BUMN dalam menghasilkan keuntungan untuk korporasinya. Hal-hal semacam itu seharusnya dapat diakomodir oleh Penilai untuk menentukan nilai wajar yang tidak over value maupun under value. Nilai wajar yang dihasilkan harus memiliki keunggulan kompetitif, dalam artian harga yang rendah, memiliki keunikan produk sesuai dengan sifat BMN itu sendiri (unik, spesifik dan terbatas), serta dapat diterima oleh pasar yang sesuai dengan demand atas BMN tersebut. Banyaknya keluhan atas nilai wajar yang dihasilkan Penilai tidak dapat diterima oleh satker selaku pengguna jasa layanan penilaian selayaknya menjadi bahan evaluasi dalam rangka menerapkan business sustainability management (pengelolaan bisnis yang berkelanjutan) dalam perannya sebagai pemerintah. Pengelolaan bisnis pemerintah yang berkelanjutan lebih mengedepankan preventif daripada reaktif, memiliki nilai tambah, inovatif, menyelaraskan aturan, kebijakan dan penerapannya, serta mengukur dan melaporkan seberapa efektif aturan atau kebijakan organisasi tersebut dilaksanakan. Dengan demikian, pengelola kekayaan negara tidak bisa mengabaikan begitu saja hasil layanan penilaian yang pada akhirnya tidak dapat ditindaklanjuti.
Hal-hal yang perlu dicermati dalam menghasilkan nilai wajar kompetitif antara lain:
1. Kesesuaian data pembanding yang tersedia dengan objek penilaian (BMN). Dalam hal kesesuaian data pembanding diharapkan lebih memperhatikan asas kelayakan dan kepatutan dengan BMN terkait. Nilai BMN tidak akan sebanding apabila disandingkan dengan data pembanding komersial milik BUMN atau swasta. Misalnya: sewa kantin di jalan protokol tidak akan pantas jika menggunakan data pembanding sewa restoran atau gerai waralaba yang terletak di jalan yang sama. Lebih pantas dan sesuai jika memiliki data pembanding warung tegal di sekitar lokasi. Penggunaan dan pemilihan data pembanding tersebut berpengaruh signifikan terhadap nilai wajar yang dihasilkan. Penilai sebaiknya lebih hati-hati dan cenderung selektif dalam memilih dan menentukan data pembanding untuk BMN.2. Komunikasi dengan stakeholder Komunikasi yang dilaksanakan dalam hal ini tidak hanya dengan satker, pengguna jasa maupun penyedia jasa, akan tetapi juga masyarakat sekitar, penguasa wilayah (ketua RT, RW, Kepala Desa), maupun instansi pemerintah yang terkait .Komunikasi ini bukan untuk mempengaruhi nilai wajar yang dihasilkan, melainkan lebih kepada menyelesaikan, menyesuaikan, maupun mengakomodasikan kebutuhan untuk pengambilan keputusan. Komunikasi dan negosiasi diperlukan selama survei dilaksanakan. Pada saat survei, seorang Penilai harus mencari data yang layak dan sesuai untuk BMN tersebut. Data yang layak dan sesuai tidak mudah didapatkan. Kemampuan teknik komunikasi dan negosiasi diperlukan untuk meyakinkan dan menimbulkan rasa aman (tidak terintimidasi) kepada penyedia informasi terkait entah itu kepala Desa, tenant, pemilik aset maupun masyarakat setempat agar mau memberikan informasi yang dibutuhkan.3. Menyamakan persepsi terhadap visi dan misi Pengelolaan Kekayaan Negara. Persepsi yang sama dalam rangka Pengelolaan Kekayaan Negara yaitu menghasilkan PNBP semaksimal mungkin sangat penting. Kesamaan persepsi akan mempengaruhi sudut pandang yang diambil dalam membuat keputusan. Misal: nilai wajar yang dihasilkan untuk semangat penarikan PNBP maksimal, atau nilai wajar yang sesuai dengan pasar yang ada (tidak mempertimbangkan sebagai BMN yang unik, spesifik, dan terbatas).4. Sinergi antar lintas tugas dan fungsi (tusi) Sesuai dengan nilai–nilai Kementerian/Keuangan, sinergi menciptakan keseimbangan harmonis untuk hasil yang optimal. Hubungan kejasama internal antara bidang Penilaian dan bidang Pengelolaan Kekayaan Negara diharapkan mampu menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas untuk kepentingan stakeholder.Perasaan ego sektoral sebagai seorang Penilai yang memiliki kewenangan independensi dan subjektivitas dalam menghasilkan nilai wajar demi kepentingan pengelolaan pemerintah yang berkelanjutan seharusnya ditekan. Apabila seorang Penilai tetap bersikukuh dengan subjektivitasnya, maka semua nilai wajar yang dihasilkan bisa dipastikan over value karena Penilai tidak dapat mengakomodir keterbatasan, kepentingan, dan keunikan BMN. Akibatnya, nilai wajar yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk dasar pengelolaan BMN baik sewa maupun pemindahtanganan (sebagai dasar nilai limit untuk dijual lelang terlalu tinggi sehingga membuat tidak ada peminat misalnya). Keseluruhan proses tersebut akan berhenti (deadlock) karena BMN tidak dapat ditindaklanjuti untuk disewakan maupun dihapus. Hubungan baik dengan satker maupun stakeholder menjadi tidak harmonis karena tidak ada sinergi internal antara kepentingan pengelolaan kekayaan negara dengan penilaian. Ada kecenderungan mengedepankan subjektivitas dan kewenangan independensi sebagai seorang Penilai.5. Sarana, Prasarana dan Dana Profesionalisme seorang Penilai tidak bisa dikesampingkan dengan membatasi sarana, prasarana, maupun dana yang ada. Semestinya, tugas dan fungsi menilai BMN mendapat dukungan penuh dari segi aturan, kebijakan, peralatan, dana operasional untuk meningkatkan akurasi data. Ketersediaan data yang sesuai dengan karakteristik BMN yang unik, spesifik, dan terbatas memerlukan waktu, tenaga, dana, dan peralatan yang memadai untuk mendapatkannya. Penghargaan atas profesi Penilai khususnya Penilai Pemerintah dengan sarana, prasarana, dan dana yang memadai diharapkan menjaga Penilai tetap memiliki integritas, indenpendensi, profesionalisme yang akan menghasilkan nilai wajar kompetitif yang cepat, tepat, akurat dan dapat diandalkan.
Berkaitan dengan hal-hal yang perlu dicermati tersebut setidaknya nilai wajar kompetitif yang mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif dihasilkan bukan atas rekayasa data yang ada, melainkan menelusuri data yang layak dan sesuai untuk BMN yang memiliki karakteristik unik, spesifik, dan terbatas. Penyajian nilai wajar kompetitif akan membuat pengelolaan kekayaan negara lebih fleksibel, luwes dan tepat sasaran untuk keperluan pemanfaatan, pemindahtanganan, dan perolehan PNBP secara optimal. Dengan demikian, tujuan tata kelola manajemen pemerintahan yang berkelanjutan dapat tercapai dengan semakin banyaknya persetujuan sewa dari pemanfaatan BMN dengan nilai limit marketable dari pemindahtanganan yang berasal dari nilai wajar kompetitif yang dihasilkan. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari KPKNL Purwokerto selama dua tahun, dapat terlihat peningkatan persentase lelang yang laku karena penggunaan nilai wajar, yaitu sebagai berikut:

Tahun

Lelang BMN

Laku

TAP

(Tidak Ada Peminat)

Prosentase penggunaan nilai wajar

Total PNBP (Rp)

2018

108

82

17

75,92 %

1.822.028.456

2019

84

80

4

95,23 %

3.0843.376.349


Adapun data untuk pemanfaatan BMN yang ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Sewa Pengguna Barang selama tahun 2019 pada KPKNL Purwokerto adalah sebagai berikut :

Persetujuan Sewa

Pelaksanaan SK Sewa

Prosentase penggunaan nilai wajar

Total PNBP (Rp)

32

21

65,6 %

170.435.099


Dengan melihat data tersebut ada kemungkinan potential loss sebesar pendapatan PNBP tersebut di atas apabila Penilai tidak mampu menghasilkan nilai wajar kompetitif yang bisa digunakan untuk memperoleh PNBP secara optimal. Oleh karena itu, alangkah bijaknya apabila pemegang tugas dan fungsi pelayanan penilaian lebih mengedepankan objektivitas dibanding subjektivitasnya, mengakomodir kepentingan stakeholder tanpa perlu mengorbankan independensinya, dan berupaya terus menjalin komunikasi, sinergi, serta tetap menjaga kualitas layanan berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Dengan demikian apa yang menjadi gagasan dalam penulisan artikel ini bukan sesuatu yang bersifat khayalan, melainkan fakta yang dapat dilaksanakan dan diupayakan guna menghasilkan nilai wajar kompetitif untuk mewujudkan tata kelola manajemen pemerintah yang berkelanjutan.

(Ditulis oleh Diah Sulastini Rochimah, Kepala Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Purwokerto)

DAFTAR PUSTAKAUnknown, 2020. “Suistanable Management”. University of Wisconsin Suitanable Management. https://sustain.wisconsin.edu. Diakses 6 Februri 2020.Hivani, Novi. 2019. ”Kepemimpinan Indonesia dalam Bisnis Berkelanjutan”. Dalam Majalah Pajak Net. https://majalahpajak.net Diakses 6 Februari 2020. Prasetyo, Anis Heru. 2013. “Membangun Bisnis yang Berkelanjutan”. Dalam Manajemen. https://manajemenppm.wordpress.comDiakses 6 Februari 2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 111/PMK.06/2017 tentang Penilaian Barang Milik Negara
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini