Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Menanggapi Adanya Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Dari Lawan
Yenni Ratna Pratiwi
Kamis, 23 Januari 2020 pukul 12:27:01   |   171786 kali

Peninjauan kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan dalam kasus perkara Perdata maupun Perkara Pidana.

Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi ialah Putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, Putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa bebas.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu persidangan di Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi di Mahkamah Agung.

Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.

Bahwa berdasarkan Pasal 67 Undang – undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia, Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

Putusan yang diminta PK didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan dengan kata lain, putusan yang diminta PK merupakan produk pengadilan yang mengandung kebohongan atau tipu muslihat. Kebohongan atau tipu muslihat itu baru diketaui setelah perkara diputus. Selama proses pemeriksaan berlangsung mulai dari tingkat pertama, banding dan kasasi, kebohonan atau tipu muslihat itu tidak diketahui, dan baru diketahui setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Dalam praktik peradilan, alasan PK kebohongan atau tipu muslihat, jarang ditemukan. Sulit mewujudkan secara konkret dan objektif adanya kebohongan atau tipu muslihat dalam suatu putusan, kecuali apabila telah ada putusan pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap menyatakan alat bukti yang digunakan pihak lawan adalah palsu setelah putusan perdata Berkekuatan Hukum Tetap.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud di atas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan.

Praktek peradilan menyebut alasan PK dengan nama “novum”. Apabila pengertian novum sama dengan “bukti baru” atau fresh Fact maupun alasan yang baru muncul, maka penggunaan kata novum terhadap alasan PK dianggap kurang tepat. Sebab menurut ketentuan itu, pada dasarnya yang dimaksud dengan surat bukti itu bukan bukti baru, tetapi surat bukti yang telah ada sebelum perkara diperiksa, akan tetapi tidak ditemukan selama proses pemeriksaan berlangsung. Surat bukti itu baru ditemukan setelah putusan perkara yang bersangkutan Berkekuatan Hukum Tetap.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud di atas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

Alasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

- Putusan mengabulkan suatu hal, sedangkan hal itu sama sekali tidak ada diminta penggugat dalam gugatan.

- Putusan melebihi dari apa yang dituntut. Hakim dilarang memberikan atau mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut. Ketentuan ini melanggar prinsip ultra petitum partium atau ultra petita. Hakim tidak boleh mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut dalam petitum gugatan.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud diatas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

Dalam suatu putusan hakim diperintahkan untuk mengadili atau memutus tentang semua bagian gugatan. Misalnya tidak diputus apakah ditolak atau dikabulkan gugatan provisi, permintaan sita atau permintaan putusan serta merta tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Kelalaian dan pengabulan yang demikian dapat dijadkan alasan permohonan PK oleh pihak penggugat, karena hal itu merugikan kepentingannya.

Dalam praktiknya, kasus yang seperti ini jarang terjadi. Jika terjadi kelalaian yang seperti itu oleh pengadilan tingkat pertama, pada umumnya akan dikoreksi dan diluruskan oleh pengadilan tingkat banding. Kalau tingkat banding lalu memutus seluruh bagian perkara, akan dikoreksi dan diluruskan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Pada umumnya, melalui fungsi dan kewenangan koreksi yang dimiliki tingkat banding dan kasasi berdasarkan mekanisme intansional, jarang dijumpai putusan Berkekuatan Hukum Tetap yang lalai memutus semua bagian tuntutan.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud diatas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

Supaya alasan ini memiliki validitas, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

- Terdapat dua atau lebih putusan yang saling bertentangan. Hal ini merupakan syarat mutlak lahirnya putusan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Paling tidak harus ada dua putusan. Baru bisa terjadi saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lain.

- Pihak yang telibat dalam Putusan perkara yang saling bertentangan tersebut adalah sama.

- Mengenai soal atau dasar yang sama. Kedua putusan yang saling bertentangan itu terkandung soal yang sama atau dasar yang sama. Kalau soal atau dasar masalahnya berbeda, meskipun pihak-pihaknya sama, tidak memenuhi alasan Peninjauan Kembali.

- Oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya.

- Putusan yang terakhir dan bertentangan itu telah Berkekuatan Hukum Tetap, dan telah diberitahukan putusan itu kepada pihak yang berperkara. jadi, agar terpenuhi syarat tersebut, maka harus saling berhadapan dua atau lebih putusan yang sama-sama Berkekuatan Hukum Tetap.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud diatas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Alasan PK yang paling sering dan paling besar frekuensinya dalam praktik adalah kekhilafan atau kekeliruan nyata. Alasan ini dianggap sangat luas jangkauannya. Apa saja pertimbangan dan pendapat yang tertuang dalam putusan, dapat dikonstruksi dan direkayasa sebagai kekhilafan atau kekeliruan nyata tanpa batas.

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud diatas adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dan apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Jawaban atas permohonan Memori Peninjauan Kembali bisa disebut dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali. Terhitung selama 14 hari kerja sejak ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkaranya menerima permohonan peninjauan kembali, pihak panitera berkewajiban menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawannya. Pihak lawan yang akan mengajukan jawaban atau permohonan Kontra Memori Peninjauan Kembali, hendaknya diajukan dalam tempo selama 30 hari. Jika jangka waktu tersebut terlampaui, permohonan peninjauan kembali segera dikirimkan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (Deni Atif Hidayat/ KPKNL Banjarmasin).

Sumber :

https://www.hukumonline.com/

Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Swantoro, Herri. 2017. “Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali”. Depok : Prenadamedia Group.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini