Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Lelang Zaman Now: Jangan Berhenti Berinovasi
Ali Ridho
Rabu, 27 Desember 2017 pukul 11:38:04   |   1423 kali

Lelang Zaman Now: Jangan Berhenti Berinovasi

oleh: Margono Dwi Susilo

Dalam ushul fikih terdapat kaidah yang begitu terkenal yaitu mempertahankan sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Kaidah ini cukup mendasar di kalangan ahli agama (Islam) karena bisa diartikan dalam dua spektrum. Pertama kaidah ini menjadi alasan untuk menjaga tradisi lama (dari manapun tradisi itu berasal) sepanjang ia baik, dan kedua menerima dengan lapang dada inovasi baru yang lebih baik. Karena apa yang baik menurut umat maka ia baik pula menurut Tuhan dan Utusan-Nya.

Nah, untuk mengembangkan lelang, Kemenkeu sepertinya harus meniru kaidah fikih tersebut. Tentukan mana yang baik dan harus dipertahankan. Katakanlah yang baik adalah organisasi yang solid dan pelayanan lelang eksekusi. Pertahankan itu. Selanjutnya cari kebaikan pada sistem di luar lelang yang bisa dicangkokkan sebagai wujud inovasi. Dengan cara ini, lelang tidak akan tergerus zaman. Untuk berinovasi maka mau tidak mau lelang harus mengintip tetangga sebelah.

Dilansir WebpageFX, salah satu situs pemasaran daring besar, lelang berbasis internet tengah berada pada grafik menurun. Artikel bertajuk “The Fall of Internet Auctions and New Age of eCommerce” yang ditulis Adrienne Wolter tersebut juga menyebutkan kecenderungan situs-situs lelang semacam e-Bay untuk memasukkan unsur penjualan konvensional dalam sistem penjualannya. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari munculnya opsi “Buy It Now” yang memungkinkan penjual menetapkan harga pasti dan pembeli bisa langsung mendapatkan barang itu tanpa melalui proses lelang. Selain itu, dalam studi oleh Liran Einav, profesor dari Stanford University, dalam kondisi di mana orang-orang bisa melakukan transaksi langsung dari ponselnya, konsumen lebih memilih harga pasti yang dianggap praktis daripada mencari-cari/menunggu-nunggu momen munculnya penawaran terbaik (best deal).

Pertanyaannya, mungkinkah lelang di Kemenkeu mengadopsi opsi “Buy It Now”? Ini mungkin sulit. Karena lelang Kemenkeu sudah fanatik dengan syahadat pertama bahwa lelang itu harus “bidding naik-naik” untuk mencapai harga yang optimal. Sedangkan “buy it now” tidak ada bidding. Tapi mungkinkah diadakan reformulasi syahadat?

Faktanya, seperti studi Liran Einav, cara bertransaksi generasi milenial mengingankan kepraktisan. Mereka cenderung tidak mau menunggu proses bidding berjam-jam dilayar monitor. Apalagi belum tentu menang. Seharusnya untuk jenis lelang tertentu (non eksekusi) Kemenkeu tidak tabu untuk menerapkan “buy it now” dengan demikian pembeli yang pertama menawar di internet akan langsung menang. Tentu harga limit harus bagus sehingga Penjual tidak rugi. Aspek kompetisi tidak lagi ditentukan oleh “bidding naik-naik” tapi ditentukan pada kecepatan mengambil keputusan terhadap harga. Menurut saya kompetisi seperti ini tidak keluar dari prinsip lelang.

Syahadat kedua lelang di Kemenkeu adalah “Lelang harus dengan perantaraan Pejabat Lelang”. Apakah syahadat ini mutlak menurut sistem Vendu Reglement? Ataukah masih mungkin di reformulasi? Perlu disampaikan bahwa Vendu Reglement sebagai undang-undang lelang tidak bersifat statis. Undang-undang ini ada banyak amandamen, baik berupa penambahan, pengurangan maupun pencabutan pasal ayat tertentu. Menurut catatan penulis, Vendu Reglement telah mengalami lebih dari 35 kali amandemen. Kalau kita lihat kenyataan ini maka dapat disimpulkan lelang di era kolonial sudah mengalami dinamika yang cukup hebat.

Terkait dengan peranan Pejabat Lelang (vendu meester) dapat dilihat bahwa pada mulanya Vendu Reglement menganut syahadat yang ketat yaitu “Lelang harus dengan perantaraan Pejabat Lelang.” Namun pada amandemen sesuai Stbl 1917 No.262 jo Stbl 1940 No.56 jo stbl 1941 No.3 mulai dibuka adanya Kuasa Pejabat Lelang (gedelegerde). Gedelegerde ini menurut Vendu Instruksi hanya diperkenankan untuk Pejabat Lelang Kelas II. Yang menarik – dan sering luput dari perhatian – adalah teks pasal 48 Vendu Reglemet yang telah memperluas pengertian vendu meester melalui amandemen Stbl 1940 No.56 jo stbl 1941 No.3, yaitu “pengertian Pejabat Lelang (vendu meester) dalam peraturan ini mencakup juga boekhouder (pemegang buku) dan ajunct-boekhouder (pembantu pemegang buku) yang ditugaskan oleh superintendent untuk melakukan lelang.”

Nah, dari perluasan pengertian vendu meester inilah terbuka peluang untuk memformulasi syahadat kedua lelang, yaitu lelang tanpa Pejabat Lelang, tetapi cukup dengan boekhoder. Pertanyaannya, boekhouder ini siapa untuk kondisi saat ini? Tentu ini bukan sesuatu yang sulit. Kemenkeu sebagai pemilik proses bisnis lelang bisa mengatur siapa saja boekhouder itu. Menurut hemat penulis, boekhouder ini lebih tepat dijabat oleh pengurus/pegawai Balai Lelang Swasta, sehingga mereka bisa melelang sendiri tanpa melalui perantaraan Pejabat Lelang. Selain di Balai Lelang Swasta, boekhouder juga bisa diterapkan pada administrator pengelola situs jual beli lelang on-line yang saat ini tumbuh menjamur.

Sudah ada keinginan dari Kemenkeu untuk mengatur jual beli lelang on-line sehingga praktek ini tidak merugikan masyarakat dan yang penting bisa dipungut PNBP atau Pajak. Tetapi ternyata tidak mudah. Masalah pertama justru ada di regulasi lelang. Mustahil untuk mewajibkan para pengelola situs jual beli lelang on-line tunduk pada peraturan lelang yang masih rumit, seperti harus ada permohonan tertulis, menggunakan pejabat lelang, melaksanakan pengumuman lelang di surat kabar harian, harus membuat risalah lelang dan seterusnya. Harus dilakukan reformulasi syahadat.

Memang selanjutnya harus diatur, kapan lelang harus melalui Pejabat Lelang dan kapan boleh oleh boekhoder saja. Pertama harus ditegaskan dulu kedudukan Pejabat Lelang. Bahwa Pejabat Lelang adalah pejabat publik setara dengan notaris/PPAT. Oleh karena itu Pejabat Lelang berwenang membuat akta otentik yaitu Risalah Lelang. Pertanyaannya, apakah pada transaksi lelang seorang pembeli senantiasa membutuhkan akta otentik? Ternyata tidak selalu. Akte otentik dalam praktek jual beli dipakai untuk akta van transport (untuk balik nama) atau grosse akta jika memerlukan pengosongan objek lelang. Dari sini bisa kita pilah-pilah, bahwa boekhouder hanya berwenang untuk melakukan lelang noneksekusi barang bergerak yang tidak memerlukan balik nama. Selebihnya masih harus menggunakan Pejabat Lelang.

Berbeda dengan Pejabat Lelang maka status boekhouder dalam hal ini bukanlah Pejabat Publik. Ia tidak berwenang untuk membuat akta otentik. Justru di sinilah kekurangan sekaligus kelebihan dari boekhouder. Karena ia bukan Pejabat Publik maka sesungguhnya ia tidak terikat oleh wilayah jabatan (wilayah kerja). Dengan demikian wilayah kerja di dunia maya bisa seluruh Indonesia bahkan mendunia. Ini penting sekali karena akan sangat aneh jika jual beli lelang online masih dibatasi dengan sekat-sekat wilayah kerja. Jangan berhenti berinovasi.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini